Hobby

Simplicity Books That Nabila Read in 2018

2. March 2019

 

The Life-Changing Magic of Tidying by Marie Kondo

Sebelum baca buku ini, kami sudah declutter beberapa kantong besar. Kemudian, kami mengulang lagi dari step paling awal, dan kami masih bisa mengumpulkan ENAM kantong besar pakaian that doesn’t spark joy.

Penasaran dengan buku ini setelah lihat instastorynya Kak Nadhira Arini, pas banget momennya dengan kemumetan keluarga kami (terutama saya pribadi) dengan kondisi rumah yang rasanya tak kunjung sampai pada titik kerapian yang diharapkan. Padahal kami sudah memperbaiki sistem dan intensitas bebenah kami, baik secara kuantitas, maupun kualitas. Namun tetap saja, saya selalu merasa mumet di rumah, sering ngedumel, bahkan sampai cukup depresi yang mengganggu keharmonisan keluarga kami. Bahaya kan? Makanya saya langsung gercep buat lahap buku ini sampai tuntas, dan langsung sambil mempraktikan setiap langkahnya berdua dengan suami. And it is truly life-changing! I have no idea what to say, I’m just so grateful to find this what so called KonMarie method, mashaaAllaah. Kalau kamu bukan tipe yang suka baca buku, there is KonMarie method series already available in Netflix. Dari buku ini, saya menyadari bahwa tidying up is one of my favorite things to do even since I was kid. Boleh tanya keluarga saya di Bogor, kalau saya sering banget tiba-tiba bebenah kamar, lemari buku, meja belajar, dsb. I know I’m not good on keeping my room clean, but really, I love to tidy up. Mainly on declutter things and make more space. Semacam terapi buat saya, sebuah kenikmatan sendiri menyaksikan perubahan ‘before‘ dan ‘after‘ yang signifikan. All I need is to find the right way to do it, and KonMarie method is just simply an answer to what I’m looking for. Beberes rumah pun jadi menyenangkan, alhamdulillah.

Goodbye Things by Fumio Sasaki

Beli buku ini di Amazon karena sering muncul sebagai suggestion sejak order bukunya Marie Kondo, dan tertarik dengan ilustrasi yang ditampilkan oleh penulis; rumah yang sangat super minimalis. Adem aja liatnya, menggambarkan salah satu cita-cita besar saya. Benar saja, di awal buku, kita akan disuguhi oleh sejumlah foto dari beberapa pelaku gaya hidup minimalis. Penulis juga menunjukkan perbedaan ‘before‘ dan ‘after‘ kondisi rumah beliau saat memulai hidup minimalis, ‘satisfying‘ gitu juga lihat perubahannya yang signifikan. Namun sayang, setelah memasuki separuh akhir buku, bacaannya jadi membosankan. Atau mungkin karena belum lama saya membaca buku sejenis sebelumnya, jadi terkesan isinya kurang lebih hanya pengulangan saja.

Ada satu yang sangat membekas setelah membaca buku ini, bahwa kita hanya menikmati sesuatu yang baru hanya sebentar. Gadget baru, pakaian baru, prestasi baru, bahkan mungkin status baru, excitement-nya hanya bertahan beberapa jam saja. Selanjutnya yaa jadi biasa aja. Dan teori ini didukung oleh beberapa orang sukses di Jerman yang menyatakan demikian juga. Yap, dunia ini memang sifatnya sementara. Setiap kondisi ada masanya. Kalau kata lirik nasyid mah namanya dunia bagi manusia ialah bak air laut, diminum akan menambah haus. Buku ini cukup menyadarkan ketika diri mulai mabok ‘air laut’ tersebut. MashaaAllaah.

Zero Waste Home by Bea Johnson

Hobby

Parenting Books That Nabila Read in 2018

1. March 2019

Assalamu’alaykum, pembaca. Apa kabar? Setelah beberapa pekan gak rilis artikel baru, saya permisi mau bersihin debu-debu di web ini dulu deh yaa hehe. Walaupun rilisnya keduluan oleh beberapa artikel, ulasan mengenai beberapa buku dalam bahasa inggris yang saya baca selama setahun ini (feb ’18 to feb ’19) merupakan tulisan pertama yang saya susun di tahun 2019, yang semoga dapat mengawali kemajuan produktifitas menulis tahun ini. Mohon aamin-nya, teman-teman. Terima kasih. Btw disclaimer sedikit nih, artikel kali ini percampuran bahasa Inggris dan Indonesia sangat sulit dikendalikan. Singkatnya, ‘jaksel abis’ kalau menurut istilah zaman sekarang mah. Harap maklum. :’)

Baby-Led Weaning by Gill Rapley and Tracey Murkett

Jadi, bermula dari Little Bee, Bilal, yang memasuki fase baru dalam hidupnya, yakni mengenal Makanan Pendamping ASI alias MPASI. Menurut WHO, bayi dianjurkan untuk mengenal MPASI di usia 6 bulan. Nah, Bilal genap setengah tahun di bulan Februari 2018 lalu. Walau sebenarnya Bilal sudah mulai dikenalkan menu tunggal MPASI bertekstur puree/bubur beberapa hari lebih awal dari yang disarankan WHO, namun Bilal masih ASI-only tanpa MPASI selama sekitar dua atau tiga pekan setelah sempat diberi puree. Kenapa? Alasannya sesederhana karena saya malas masak MPASI dan masih mau mempelajari ilmu MPASI. Well, it might be a lil too late, but it’s ok. I don’t exactly remember how I finally got into Baby-Led Weaning (BLW). I just asked my husband to order a BLW book from Amazon, of course at first I did some research for which book is highly recommended. And here is what we got, Baby-Led Weaning by Gill Rapley and Tracey Murkett. The fun fact is that THIS IS MY VERY FIRST BOOK I HAVE EVER READ (AND FINISHED IT)… IN ENGLISH. Yaa meski waktu sekolah dulu pernah baca buku pelajaran dalam bahasa inggris, but it was actually in bilingual. So yeah, thanks to my lovely firstborn, karenanya saya berani untuk mencoba hal baru, which is in this case is to read english book. My english is obviously not perfect, but since I read this book, I love to read more books in english. And another good thing from it is I gained so many new vocabs. Alhamdulillah.

Baca ini sambil ngemil di Backwerk, Bilal masih bayi pun nemenin sambil tidur di babyschale-nya. Good memories.

Untuk kamu yang sedang mencari tahu lebih dalam mengenai MPASI atau bahkan secara khususnya BLW, believe me this book is what you’re looking for. Buku ini sangat menarik, bahasanya mudah dipahami, penuh dengan kisah pengalaman para orangtua dalam mengenalkan MPASI ke buah hati mereka, also how to deal with the kids’ appetite. Mulai dari bagaimana agar anak mau makan, mandiri makan sendiri, dan gak picky pilih-pilih makanan. Buku ini berhasil mengusir banyak kekhawatiran saya, salah satunya adalah kekhawatiran atas kerempongan dalam menyiapkan MPASI karena mashaaAllaah dengan sistem BLW ini, Bilal bisa ikut makan bersama kami. Makan di waktu yang sama, dengan menu yang sama. Alhamdulillah, setelah setahun berlalu, sekarang Bilal makannya pintar dan lahap. Alhamdulillah lagi, Bilal jaaarang banget Gerakan Tutup Mulut (GTM). MashaaAllah. As always, saya tak bermaksud untuk merasa lebih baik dari yang tidak menggunakan sistem BLW. Bukan untuk kompetisi atau menuai perdebatan, karena setiap orangtua berhak memiliki pilihannya sendiri untuk anak mereka, and I believe every parents will take what’s best for the children. Dan harus saya akui bahwa anak saya tak sepenuhnya menggunakan BLW karena saya masih sering menyuapinya dalam beberapa kesempatan.

How to Talk So Kids Will Listen & Listen So Kids Will Talk by Adele Faber and Elaine Mazlish

Nemu buku ini karena sering muncul di suggestions tiap buka Amazon setelah beberapa waktu saya mencari buku untuk stimulasi bicaranya Bilal, pernah beberapa kali lihat di intagram juga. Iseng beli dan baca, menarik! Bagi yang visual banget, buku ini menyajikan beberapa contoh cerita bergambar. Mostly isinya memang contoh-contoh real conversations apa yang BIASANYA terjadi dalam sehari-hari dan bagaimana SEBAIKNYA itu terjadi. Walaupun belum dapat saya aplikasikan secara langsung kepada Bilal, saya mendapat banyak pelajaran sangat bermanfaat untuk hubungan saya dan suami dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Seperti yang paling menempel, ‘never ask why’. Benar deh, sejak membaca buku ini, saya punya rem sendiri untuk bertanya alasan yang pada dasarnya hanya sebagai bentuk lain untuk menyalahkan alias blaming or accusing. Misal, kalau ada sesuatu tidak pada tempatnya, instead of asking ‘why is it there?’ or ‘who puts it there?’, I prefer to say ‘it’s not place for it, it belongs to its own place here or there’. Jadi efeknya pun berbeda kan, lebih damai bukan? Buku ini benar-benar membuat kita lebih berhati-hati dalam memilih diksi dalam berbicara, sekali lagi, tidak hanya kepada anak-anak. Namun, sejujurnya saya memilih untuk tidak menamati buku ini, mungkin lain waktu ketika Bilal sudah lebih besar dan lebih bisa diajak bicara. But, actually, this book is better to read in advance as preventive to not make mistakes. Saya rekomendasikan buku ini untuk kamu yang berinteraksi dengan anak-anak atau bahkan remaja.

Be Bilingual by Annika Bourbogne

Galau karena khawatir Bilal mengalami speech-delay atau telat berbicara karena secara genetik dari ibunya yang telat bicara dan didukung oleh qadarullah Bilal harus mengenal LIMA bahasa (Indonesia, Inggris, Jerman, Arab dan Sunda) secara langsung sejak lahir. Ditambah, kelihatannya Bilal belum banyak ngoceh seperti anak-anak seusianya. Hasil pencarian saya berujung pada buku ini, yang berhasil menenangkan kekhawatiran dan menghilangkan pikiran negatif. I finally undertand that it’s totally fine, just takes some time. Penulis buku ini adalah seorang ahli di bidangnya, dimana bisa dikatakan buku ini merupakan hasil thesisnya, yang mengartikan bahwa buku ini mengandung penjelasan ilmiah yang masuk akal dan teruji melalui sejumlah pengalaman para keluarga multi-lingual di seluruh dunia. Disertakan pula beberapa alternatif untuk memancing minat bicara anak, agar anak tak hanya memahami, tapi juga cukup fasih dalam semua bahasa. Mantul!

Simplicity Parenting by Kim John Payne with Lisa M. Rose

Rich Dad Poor Dad by Robert T. Kiyosaki

Culinary Europe Traveling

Nabila’s Birthday Trip 2018, Den Haag (Day 3)

15. February 2019

Hari Ketiga: 18 November 2018

Selamat pagi! Pagi ini Bilal, lengkap dengan pakaian unyu-nya, yaitu kostum beruang, membangunkan Oma dan Opa Bilal ke kamarnya. Oma yang buka pintu, masih dengan piyama dan muka bantal, super terkejut lihat Bilal sampai beliau berlinang air mata karena tawa harunya. MashaaAlaah. Mission complished, too bad that we didn’t record it huhu. Setelah itu kami kembali ke kamar, ganti pakaian, bersiap untuk sarapan.

Sesekali Bilal ootd-an gapapa yaa hehe. MashaaAllah.

Abis sarapan, Bilal peluk Oma erat banget. MashaaAllaah.

 

Selesai sarapan, kami mengangkut semua bawaan kembali ke mobil. Lalu kami pergi menuju pantai Scheveningen lagi karena Mama mertua ingin menikmati dan menunjukkan pada saya suasana pantai saat siang hari sebelum akhirnya kami pulang ke Dortmund. MashaaAllaah.

Jelas banget kayanya kalau Bilal terpaksa foto bareng Abahnya haha mashaaAllah

Beelden aan Zee, Tom Otterness: Fairy Tale Sculpture by the Sea

Di pinggiran pantai Scheveningen ada museum, nah ada seniman dari Amerika yang sengaja membuat karya seni berupa patung-patung di area terbuka sekitar pantai. Tujuannya agar bisa dinikmati oleh anak-anak sebagai taman bermain. Dalam tiap ilustrasi pahatannya terdapat makna kehidupan tersendiri.

Ada yang bisa menemukan kami dalam gambar yang diambil oleh suami saya ini?

Salero Minang

Sejak tahun pertama tinggal di Jerman, pun saat hamil, saya sudah mengidam-idamkan makan di restoran Indonesia. Nah dari apa yang saya dapat dari browsing sana-sini, ketemulah info bahwa restoran Indonesia yang paling banyak pilihannya memang di Belanda, tepatnya di Amsterdam dan Den Haag. Kebetulan saya menemukan Salero Minang, rumah makan khas Padang di Den Haag. Jadilah saya seakan mewajibkan diri mampir ke resto ini bila suatu saat main ke Den Haag. Alhamdulillah, Allah kasih rizki tak terduga, diajak Mama mertua ke Den Haag. Maka, tsebelum pulang ke Jerman, saya request makan siang di Salero Minang. Saya ingat betul, saya bilang ke Mama mertua di perjalanan menuju restoran ini, “Banyak orang terkenal, kaya seleb, orang penting, dsb, yang makan di Salero Minang kalau mereka berkunjung ke Belanda lho Maa”. Terus Mama mertua menjawab, “Wah berarti orang keren dong yang makan disana, kita juga kan?”. Hahaha bisa aja.

Begitu tiba di daerah sekitar resto, saya sangat excited, saya kenal betul tikungannya karena beberapa kali melihat gambar yang dibagikan pengunjung resto di instagram. Namun mood saya berubah total begitu melewati restonya saat sedang mencari tempat parkir. Kenapa? RESTONYA TUTUP DONG GEEENGS. Monangis akutu. Dadah rendang, dadah dendeng balado, dadah sambal ijo huhu. Alhamdulillah ala kulli hal, Mama mertua baik banget mau mengambil gambar dari resto yang tutup ini. “Sini aku ambilin gambarnya, biar jadi bukti kalau kita pernah kesini.” :’)

Toko Nusantara

Walaupun resto pertama tutup, masih ada satu resto lagi yang mau saya sambangi selagi di kota tempat Perjanjian Konferensi Meja Bundar dibuat. Yakni, Toko Nusantara yang terkenal dengan bakso dan bubur ayamnya. Gak begitu jauh dari resto sebelumnya, letaknya cukup strategis di tepi jalan besar yang dilewati jalur trem juga. Begitu masuk ke restoran, mashaaAllaah rwame bener!  Berhubung ramai, saya pesan untuk take away saja. Bakso beranak tiga, sekilo bakso kecil-kecil, dan seporsi bubur ayam. Totalnya 58€, atau sekitar sejutaan bila dirupiahkan, ini seingat saya yaa. Bapak pemilik resto ini ramah sekali melayani, ramah, senyum terus. Just to let you know, Bapaknya bilang kalau mereka gak jual mentahan begitu. Mereka kasih jual mentahan ke saya karena saya bilang di awal kalau kami datang dari Jerman. Mantapnya lagi, mereka gak terima kartu kredit loh! MashaaAllah tabarakallah.

Hasil perburuan di Den Haag. MashaaAllah, terima kasih Ar-Razzaq.

Cuma kurang sambel aja nih. Alhamdulillah, tombo kangen. Bisa sarapan bubur ayam tiap pagi, I wish.

Al Madinah Moskee

Arabic Resto

 

Culinary Europe Traveling

Nabila’s Birthday Trip 2018, Den Haag (Day 2)

11. February 2019

Hari Kedua: Sabtu, 17 November 2018

Selamat pagi! Bilal baru bangun, nunggu giliran mandi sambil nyusun stok smoothies-nya. MashaaAllah tabarakallah.

Setelah ganti baju, kami turun ke restaurant hotel untuk sarapan. Flestcher Hotel Leidschendam, hotel yang kami tempati ini memiliki menu breakfast yang segar, satu-satunya yang non-halal yaa bacon babi tapi itupun terpisah. Cari aman aja, ambil sarapan dari menu khusus salad segar dengan variasi yoghurt, aneka sereal, roti-rotian, telur rebus, omelette, segitu udah enak alhamdulillah. Ada buah segar juga. Minumnya ada jus, teh, kopi, bebas pilih sesukanya. Tips juga nih, kalau lagi liburan ke negara non-muslim, sarapan di hotelnya ambil yang kering-kering aja. InshaaAllah aman, jelas kehalalannya.

Menuju ke resto hotel, kami melewati lobby hotel. Pintu masuk restonya persis di sebelah kiri.

Ada infused water gratis di sebelah receiptionist, boleh dinikmati sepuasnya.

Sarapan bareng Oma. MashaaAllah tabarakallah.

Setelah sarapan, Mama mertua mau belanja di pusat perbelanjaan seberang hotel. Disana ada toko-toko pakaian semacam H&M atau C&A, juga tokjo serba ada Hema, dsb. Ketika sedang lihat-lihat sambil menemani Mama mertua belanja di toko perhiasan, saya menemukan tas seperti yang sudah lama saya idamkan lagi diskon 70%. Saya langsung ambil, eh pas di cashier malah keduluan Mama mertua yang bayarin. Beliau juga suka tasnya, ‘Nabila banget’ katanya. So, I got another birthday gift! Alhamdulillahiladzi bini’matihi tatimmussalihat. Thank you sooo much Mama. Love you more. 

Tasnya langsung dipakai dong hihi mashaaAllaah. Cocok gak? ^^

Kalau begini, Bilal mirip sama Abahnya yaa hehe mashaaAllah tabarakallah. Lagi main mahkota-mahkotaan yang Opanya ambil free dari HEMA.

Scheveningen Harbour

Qadarullah Opanya Bilal sakit, jadi beliau memilih untuk istirahat di hotel saja. Sementara kami pergi jalan-jalan. Awalnya kami belum tahu mau kemana, eh tau-tau sampai ke pelabuhan. Yaudah turun sebentar untuk foto-foto, meninggalkan Bilal yang lagi tidur di carseat.

Suasana pagi menjelang siang di pelabuhan Scheveningen. Cuma sebentar banget disini karena dingin dan sedang ramai oleh festival.

Simonis Restaurant

Udaranya dingin, perut sudah mulai lapar lagi. Pas masuk jam makan siang, jadi kami melipir ke Simonis Restaurant yang dekat pelabuhan. Resto ini terkenal dengan fresh seafoodnya, punya cabang banyak, salah satunya saya pernah lihat ada juga di pantai Scheveningen. Parkirnya tersedia khusus di depan restoran persis, luas dan gratis. Ketika masuk restoran, kita akan langsung disambut dengan suasana ala kapal, lengkap dengan beberapa aquarium berisi ikan dan lobster segar. Begitu lihat daftar menunya… hmm relatif mahal yaa.

Simonis’ menu ala carte.

Sok ide pengen nyobain fresh oyster tanpa diolah, saucenya dikasih lemon juice, cuka dan bawang. Not my taste, tetap amis huhu.

Shrimps in garlic oil pesanan Mama mertua.

Lobster saya, pesan yang separo aja hehe. Dilapisi keju yang meleleh, lezatnya mashaaAllaah. Karena pengalaman beberapa kali mendapati lobster yang dagingnya susah diambil, agak pahit atau sepet, dan amis di resto di Dortmund. Tapi yang ini sih hamdalah mantap gan! ^^

Salmon panggang punya Abahnya Bilal. Lumayan bisa buat sharing sama Bilal hehe

Salad di menu yang diambil Abahnya Bilal ternyata basi, jadi beliau komplain dan dapat ganti porsi salad yang segar dan lebih besar. Alhamdulillah.

China Town

Ternyata The Hague juga punya satu area yang penuh dengan nuansa Chinese. Kami tak sengaja menemukannya ketika sedang mencari masjid untuk shalat dzuhur dan ashar (dijamak). Dari foto di bawah, kelihatankah lampion dan gapura yang khas Chinese?

Masjidil Aksa Camii

Masjidnya terletak strategfis persis di pinggir jalan, namun agak sulit atau bahkan tak memungkinkan untuk parkir kendaraan sekitar masjid. Halaman masjid cukup luas, bangunan terlihat berwibawa dari luar. Namun sayang seribu sayang, saya mendapati pengalaman buruk di toiletnya yang kurang terjaga kebersihannya. Gelap, dan air menggenang di sekitar toilet. Gamis saya menyentuh genangan yang mungkin saja najis, maka saya pun membatalkan niat untuk shalat di masjid tersebut. Sungguh menyedihkan. Semoga kondisinya sudah jauh membaik saat ini. Lantas saya memilih untuk kembali ke hotel, berganti pakaian dan shalat di kamar hotel saja. Mengubah rencana kami semua, untung Mama mertua sangat pengertian alhamdulillah. Sisi baiknya, kami bisa menjemput Opanya Bilal untuk ikut ke pantai bersama kami.

Scheveningen Beach

The Kurhaus of Scheveningen bersama jejeran tenda-tenda cafe dan restoran di depannya.

Penampakan The Kurhaus dari dekat saat siang hari.

Persis di depan pantai, ada bangunan megah bernama The Kurhaus of Scheveningen. Bangunan yang dibangun dengan arsitektur Jerman pada abad ke-18 ini adalah tempat pertemuan sekaligus hotel para konglomerat pada zamannya. Sebut saja group band legendaris Rolling Stone pernah manggung disini sekitar tahun 60-an. Kini sudah terdaftar sebagai salah satu bangunan bersejarah dan dibuka untuk umum. Oiya, saya dan mama mertua ikut masuk karena bebas, jadi yaa sekedar numpang lewat untuk sekilas lihat-lihat. Ada group yang pakai tour guide. Disana saya lihat hall atau ruang pertemuan yang sangat luas dan artsy, bagaimana tidak, hampir sekeliling langit-langitnya diselimuti oleh lukisan jadul yang mewah dan ternyata pelukisnya didatangkan langsung dari Belgia. Btw, lukisannya sangat vulgar yaa, jadi gak saya share disini. Gak lolos sensor soalnya hehe.

Schveningen Pier, dermaga yang awalnya dibangun pada awal abad ke-19. Kemudian tahun 90-an dibeli oleh pihak swasta untuk dijadikan restoran dan kasino. Dua dekade berlalu, terjadi kebakaran yang mengakibatkan perusahan tersebut bangkrut. Pemerintah kota menutupnya di awal tahun 2013 karena kondisi bangunan yang tak memadai. Lalu, akhir tahun berikutnya bangunan di dermaga ini dibeli lagi oleh pihak swasta lainnya, dengan rencana renovasi dan membangun beberapa fitur baru. Barulah pada pertengahan tahun 2015 restaurant dan bazaar di dermaga Scheveningen ini kembali dibuka untuk umum, walaupun jumlah pengunjung dibatasi sebanyak 800 orang karena faktor keamanan, Di depan dermaga juga terdapat Bunge Jumping dan Bianglala sekarang.

Bianglala dan bulan purnama dalam satu gambar.

Setelah berkeliling dermaga, menemani Bilal menngeksplor sekitar, Mama mertua dan suami makan malam di restoran dalam mall sekitar pantai. Kami bertiga hanya diam saja sekitar hotel, saya mabok angin pantai soalnya huhu. Begitu Oma dan Opanya Bilal selesai, kami pun bergegas kembali ke hotel untuk istirahat.

Kegiatan terakhir di dermaga, Bilal pura-pura main mobil balap. Iya, pura-pura, karena kebetulan kami gak ada yang mengantongi receh hehe. Bilal sempat main piano juga lho, adanya video sih huhu.

Toko Deli

Saya tak sengaja menemukan Toko Deli di perjalanan dari pantai ke parkiran, tentu saya sempatkan mampir. Kalau dari gugel sih katanya restoran yaa, tapi menurut saya sih lebih kaya kedai kecil gitu bersebelahan dengan asian minimarket. Gak lihat ada yang dine in, para pembeli malam itu  (termasuk saya) memilih untuk take away. Saya rada kabita sama makanan Indonesia yang tersedia di etalase, seperti rendang dan kawan-kawannya. Tapi mikir lagi, ah engga ah, sudah malam. Besok juga inshaaAllah rencananya mau makan di resto Indonesia. So, kami hanya beli sedikit cemilan, hitung-hitung balas dendam karena kemarin tak jadi jajan cemilan khas Indonesia hehe. Jadi, sistemnya tuh mereka sedia makanan dan cemilan nusantara yang sepertinya diambil dari produsen yang sama, terus dihangatkan begitu ada yang beli. Not fresh indeed, tapi cukup mengobati rindu cemilan dari kampung halaman. Alhamdulillah ‘ala kulli hal.

Bakwan jagung, keroket dan pastel. Serta tangan si kecil yang tak sabar menyicipi, mashaaAllaah.

Bersambung…

Culinary Europe Traveling

Nabila’s Birthday Trip 2018, Den Haag (Day 1)

10. February 2019

Mama mertua dan suaminya liburan ke Mesir di awal bulan November, sebelum berangkat mereka ingin bertemu Bilal. Ternyata oh ternyata, Mama ingin memberikan kejutan sebagai early birthday gift; voucher menginap di hotel selama dua malam di Den Haag. Mama dan suaminya juga ikut, jadi kami pergi berlima menggunakan mobil. Sejak beberapa hari sebelumnya, Mama selalu WA bilang kalau beliau excited banget, gak sabar pengen nunjukin Den Haag ke Nabilal. Yaa, beliau seriiing banget ke Den Haag, bahkan dari sebelum suami kenal saya. Karena sepertinya pantai paling dekat dari Dortmund adanya di Scheveningen, tepatnya Den Haag sonoan dikit hehe.

Special thanks to Bilal’s Oma and Opa. <3

Jujur, saya merasa nervous karena perjalanan ini adalah kali pertama Nabilal jalan-jalan rada jauh dan lumayan lama sama Oma dan Opa Bilal, pertama kali Nabilal menginap di hotel di Eropa juga. Saya harus packing dengan baik karena kalau ada yang kurang, pasti dikomplen mertua dan itu gak enak. Ditambah saya harus beberes rumah, rumah harus bersih sebelum ditinggal pergi, dan kami pun akan menerima tamu sehari setelah kami pulang inshaaAllah. Dengan sejumlah tekanan tadi, saya coba menghibur diri dengan mulai rajin browsing lagi rumah makan Indonesia di Den Haag. Sudah lama saya tahu kalau Den Haag adalah surganya makanan khas Indonesia di Belanda, atau mungkin setanah Eropa. Sudah lama juga saya mengidamkan untuk wisata kuliner di Den Haag.

Hari Pertama: Jum’at, 16 November 2018.

Harinya tiba, paginya saya hanya bikin banana shake untuk sarapan Bilal. Saya berusaha untuk keep the home clean, soalnya saya sudah banting tulang berbersih rumah sampai baru tidur jam dua dini hari. Suami tetap kerja dan shalat jum’at di Dortmund dulu, saya dan Bilal berangkat dari rumah setelah shalat dzuhur (dan jamak ashar). Kami bertemu dengan Mama dan suaminya di swalayan dekat masjid dimana suami shalat jum’at. Sekitar pukul dua siang, bismillah, kami berangkat!

Normalnya hanya dua setengah jam dari Dortmund ke Den Haag, tapi sepertinya karena ini Jum’at malam, jalanan ramai dan lumayan macet. Jadilah kami butuh tiga jam untuk sampai di hotel. Saya berusaha tidur terus selama di jalan, menghindari mabok. Inilah kenapa saya lebih suka naik kereta atau pesawat dibanding mobil pribadi atau bus, saya tuh anaknya mabokan huhu. Sudah dekat hotel, ternyata Bilal yang mabok, gumoh banyak banget. Mungkin karena terlalu sering dan terlalu banyak dikasih cemilan. Niatnya sih biar anteng, tapi malah kekenyangan doi huhu emak-babehnya gak peka pula. Tapi alhamdulillah anaknya gak rewel, gak ketauan gumohnya juga, tau-tau udah kotor aja baju dan carseatnya. MashaaAllaah, Bilal baik.

Bilal sedang dipakaikan baju oleh Abahnya. MashaaAllah tabarakallah.

Sampai hotel, saya dan Mama mandikan Bilal, para suami gotong tas-tas bawaan ke kamar. Setelah mandi, Bilal dipakaikan baju oleh Abahnya. Saya beberes barang bawaan, dan foto-foto untuk keperluan artikel ini hihi. Kemudian, kami shalat maghrib dan isya.

 

Flestcher Hotel, Leidschendam.

Kami mendapat kamar hotel yang cukup luas, bersih, difasilitasi dengan bathtub di kamar mandi dan balkon yang menghadap ke danau. Pemandangannya cantik terutama saat matahari terbenam atau terbit, mashaaAllaah. Mama mertua bilang, kalau mereka kesini saat musim panas, biasanya mereka hanya ke supermarket sebelah untuk belanja cemilan buat piknik dan diam di balkon ini seharian, Menenangkan katanya.

Pemandangan dari koridor kamar hotel, kita bisa lihat suasana sekitar hotel.

Kamar hotel yang kami tempati ketika masih rapi.

View sunrise dari balkon kamar hotel. Aktivitas pagi kota ini sangat menarik dilihat dari sini.

Lanjut ke setelah shalat, kami cari resto Indonesia terdekat untuk makan malam. Ketemu! Namanya Toko Bali, kalau kata gugel letaknya hanya 150m dari hotel atau sekitar lima menit berjalan kaki. Pas mau didatangi, barulah ketahuan kalau kedai Toko Bali ini tadinya persis sebelahan dengan hotel, namun sekarang pindah ke mall baru namanya Fresh. Kelihatannya jadi lebih modern.

Toko Bali, Leidschendam.

  

Mereka jual beberapa macam bahan makanan kemasan dari Indonesia juga, seperti saos dan sambal.

First impression kami untuk resto ini kurang menyenangkan. Pelayanannya somehow kurang ramah, tapi saya fahamlah kalau mereka pasti sudah lelah karena sudah waktunya mau tutup juga kan. Yang paling kami kurang suka adalah ketika kami mau pesan cemilan, kata mereka “nanti” dan “nanti” sampai akhirnya mereka benahi cemilannya dan kami tak jadi beli. Suami bete banget karena ini. Terus setelah order makanan, suami bilang kalau beliau merasa ada bisikan hati yang kuat yang mengatakan kami harus segera pergi. Tapi yaa masa udah order mau ditinggal? Kan gak mungkin hit and run, macam di online shop aja. Benar, gak lama suami menyampaikan unek-uneknya, ada gangguan listrik yang membuat kedai padam listrik mendadak, sehingga makanan kami pun lama disiapkannya. Drama banget yaa? Untung salah satu karyawannya ada yang menawarkan es cendol, jadi adem hati ini setelah minum es cendol.

Beberapa menit kemudian hidangan tersaji. Saya pesan nasi rames spesial, yakni seporsi nasi hangat, rendang, udang balado dan ayam pedas manis. Sisanya kami pesan Rijstafel untuk tiga orang. Rijstafel merupakan cara penyajian makanan berurutan dengan pilihan hidangan dari berbagai daerah di Nusantara. Ditambah sekaleng cola zero dan sebotol air mineral, kami merogoh kocek 48€ atau sekitar 800rb rupiah malam itu. Harga relatif standard, gak murah dan gak mahal. Rasanya pun oke punya, mashaaAllah alhamdulillah. Makanannya enak, apalagi es cendolnya otentik maknyos.

Nasi rames pesan yang menunya boleh saya pilih sendiri. Semacam di warteg, tinggal tunjuk dari kaca hehe.

Ini rijstaffel-nya. Kelihatannya sedikit ya, padahal aslinya banyak mashaaAllah.

Kebetulan kami memang pelanggan terakhir saat resto seharusnya sudah tutup. Nah, barulah beberapa mbaknya berramah tamah dengan saya. Ngobrol basa-basi sedikit pas di kasir, mereka tanya saya asal mana. Saya jawab asal Bogor, tapi sekarang tinggal di Dortmund. Terus mereka tanya, “Umur kamu berapa?”. Saya reflek bilang “Ini ulang tahun ke-22”, padahal ulang tahunnya masih tiga hari lagi. “Yaa ampun beneran 22? Kita kira masih kecil. Itu anaknya?”, mereka lanjut. “Iya hehe”, jawab saya. “Nikah muda yaa?”, tanya mereka lagi. “Iya, nikah pas umur 19thn”, jawab saya. “Awww!”, mereka kaget dan ini bikin saya ketawa haha. “Itu suaminya umur berapa?”, mereka masih kepo rupanya. “31thn, tapi keliatan seumuran yaa sama saya? Iya emang saya mah tampangnya boros hehe”, saya mulai insecure hoho. “Suaminya emang gak keliatan tua, tapi kamu juga keliatannya kaya anak kecil sih”, sahut mereka. Saya pun jadi malu-malu bahagia atas perbincangan ini. Tuh kan benar, mereka sempat judes karena emang lagi capek aja. Toh begitu selesai pekerjaannya, mereka jadi lebih ramah. Subhanallaah, tuh kan husnudzon itu perlu. MashaaAllaah. Ada sekeranjang kecil berisi salonpas dan minyak gosok dari Indonesia yang mereka jual juga loh. Mau beli minyak tawon tapi gak keburu huhu.

Setelah makan malam, kami lanjut jalan-jalan sebentar sekitar hotel. Bilal terlihat ceria sekali, mashaaAllaah. Kemudian, karena belum terlalu malam, kami memutuskan untuk jajan dulu di Jumbo supermarket persis sebelah hotel. Kami beli beberapa cemilan, dan favorite saya adalah Chitos rasa keju yang gak ada di Dortmund huhu. Ada beberapa macam kerupuk juga disini. Aduh, jadi kalap deh pengen icip tiap variannya. Sudah puas jajan, kami kembali ke hotel untuk istirahat.

Lah dia malah tiduran di emperan toko, untung sepi. Jadi gak malu-maluin amat haha.

Halal section di supermarket dekat hotel. MashaaAllah, saya belum menemukan di Jerman ada yang begini.

Kita bisa ambil mesin pindai (scan) untuk memindai belanjaan kita sendiri, jadi nanti di cashier tinggal bayar aja. Menarik yaa.

Bersambung…

Hobby

From Saving Some Cents to Have A Vacation

9. February 2019

Bang bing bung yok kita nabung, tang ting tung yok jangan dihitung, tahu-tahu nanti kita dapat untung.

Terinspirasi dari “Gerakan Penghijauan” atau “Nabung 20rb Rupiah”, yang tiap menemukan uang 20rb (PUNYA SENDIRI LHO YAA HEHE) langsung ditabung, saya sempat coba menerapkan di uang kertas euro; 20€ dan 5€. Gagal, masih terlalu tempting buat dibelanjakan. Nah yang bertahan aman di celengan adalah koin 1€ dan cents.

Sejak dulu di Indo, jujur saja, saya memang gak suka nyimpen/pakai koin. Kalau ada kembalian koin, seringnya gak diambil. Tapi berbeda dengan koin Indo yang receh banget ibaratnya, disini koin 1€ atau 2€ lumayan, bisa buat beli roti. Menabungnya dirasa lebih mudah karena dipakai enggan, sedangkan dibuang sayang. Selain itu, koin 1€ yang paling mendekati nilai 20rb rupiah.

Kalau nabung cents, sebenarnya lebih ke meneruskan habits suami. Awal disini, suami beberapa kali sempat menegur pas liat saya biarkan cents saya jatuh tanpa dipungut lagi. Lalu suami tunjukkan sepeci cents yang beliau berhasil kumpulkan. Beneran tempatnya di peci dong haha. Lalu, besok harinya kami ke atm, menukar receh tersebut. Terkejutlah awak ketika sepeci recehan itu bisa senilai belasan euro, atau ratusan ribu bila dirupiahkan.

Kemudian saya beli dua toples bening untuk menabung koin 1€ dan cents. Jadi, sejak hamil Bilal, tiap dapat kembalian 1€ atau cents, itu jadi hak sy untuk dicelengin. Iya, udah deal kalau ini tabungan saya hehe jadi sesuka saya kapan dan untuk apa digunakan. Awalnya belum tahu mau untuk apa uangnya nanti, nabung aja dulu mana tahu suatu saat dibutuhkan.

Nah, akhir tahun lalu iseng menukarkan celengan 1€ ke atm. Alhamdulillah lumayan, dapet ratusan euro, beberapa juta kalau dirupiahkan. Sempat overwhelming mau dibelanjakan ini-itu, tapi akhirnya milih buat “investasi” saja, yaitu piknik sederhana untuk Nabilal. Kebetulan bulan depan 3rd wedding anniversary kami juga hihi inshaaAllaah. Jumlah celengannya emang gak memenuhi sih, harus dibantu uang saku. Dua bulan ini gak jajan deh huhu. Alhamdulillah tapinya, kemarin saya bisa booking flight dan airbnb pakai hasil tabungan sendiri. MashaaAllaah, bahagianya bukan main. Terharu akutu!

Ini sharing aja ya. Semoga ada manfaatnya, terutama buat buibuk niih hihi. Pengingat diri juga buat tetap semangat menabung, karena setelah ngosongin celengan ya sekarang harus mulai dari nol lagi hehe.

Culinary Europe

Weihnachtsmarkt / Christmas Market Dortmund 2018

29. January 2019

Pohon natal di Dortmund Weihnachtsmarkt ini diklaim sebagai pohon natal tertinggi di dunia.

Weichnachtsmarkt alias Christmas Market adalah semacam bazar atau pasar kaget yang diselenggarakan di seluruh Jerman, dan beberapa negara jirannya, dalam menyambut momen natal. Biasanya pasar ini akan ada di pusat kota sekitar sebulan sebelum natal hingga beberapa hari setelah natal. Tersedia beragam kedai makanan khas akhir tahun, gerai pakaian musim dingin, hiburan, dan aneka souvenir yang hanya ada di Weihnachtmarkt ini. Sebagai muslim, as always, kami harus berhati-hati ketika jajan di festival ini karena tak semuanya halal untuk dikonsumsi. Misal, ada kedai yang menjajakan pommes (kentang goreng/frites) dan Wurst (sosis khas Jerman yang biasanya terbuat dari babi). Pada dasarnya kentang goreng halal, tapi karena dimasak di dapur yang sama, walaupun alat memasaknya harus berbeda bila menurut peraturan yang ada. Tatap saja, bagi kami, sebaiknya dihindari. Toh masih ada alternatif lain kalau mau jajan kentang di pasar natal. Ohiya, jangan kaget yaa, disini beer terjual bebas, bahkan tak jarang ditemukan banyak kumpulan orang-orang yang jadi gila karena mabok. Naudzubillahi min dzalik. So, melalui artikel ini inshaaAllaah saya akan bagikan beberapa opsi jajanan yang bisa saudara-saudari muslim nikmati di Weihnachtsmarkt. Semoga bermanfaat! ^^

Reibekuchen

Semacam perpaduan bakwan dan perkedel. Bahan dasarnya kentang yang kemudian digoreng seperti bakwan. Bedanya, reibekuchen ini gak pakai banyak sayuran lain layaknya bakwan, dan ditemani garlic sauce instead of rawit. Tapi tekstur dan rasa sih nyaris gak ada beda. Mahal doang, tapi namanya juga jajan di festival setahun sekali yaa wajar kalau harga menyesuaikan.

Calamares & Backfish mit Brotchen

Cumi goreng tepung, dengan saosnya. Empuk banget, mashaaAllaah.

Ikan yang digoreng biasa dengan tepung, diberi topping mayo dan/atau garlic sauce dan roti. Enak, segar, gak amis. Sebenarnya ada juga sih jajanan ini di weekend market biasa.

Germknodel & Crepes

Kaya bapau yaa hehe

Dengan topping blueberry dan vanila, favorite suami.

Rasa dan teksturnya memang seperti bapau, cuma yang ini versi manisnya aja kali yaa.

 

Ini lagi coba yang toppingnya butter dan mohn juga. Mohn-nya itu terasa gak ada rasa khusus, hanya bagai butiran gula aja, tapi teksturnya seperti pasir di lidah.

Crepesnya beda tekstur dengan crepes kebanyakan di Indonesia yang kering dan renyah, crepes disini memang rata-rata lembut. Topping favorite suami adalah saus apel dan kayumanis, kalau topping favorite saya biasanya nutella. Tapi kayumanis dan gula gini aja juga enak banget loh, asli.

Gebackene Kartoffeln

Nah, ini dia alternatif jajanan kentang yang kusebut di atas, kentang panggang. Jadi, kentang ukuran jumbo dipanggang, terus disajikan dengan topping. Enak banget, cocok dimakan anget-anget pas udara lagi dingin-dinginnya. Kesukaan saya adalah yang bertabur keju mozarella dan butter, ngeunah pisan mashaaAllaah. Bisa dicoba buat di rumah juga lho, mudah dan lebih murah tentunya hihi.

Gebrannte Mandeln & Schocoladen-Obst

Kalau Indonesia punya jajanan kaki lima berupa kacang rebus, maka Weihnachtsmarkt punya kacang bakar berlapis karamel ini. Mandeln (Almond) memang yang paling hits, tapi ada pilihan jenis kacang lainnya juga kok.

Biasanya, yang jual kacang bakar juga jual manisan buah. Sate buah yang dilumuri cokelat, baik cokelat putih, cokelat biasa, sampai dark chocolate ada. Kalau anak-anak sih biasanya suka buah apel atau pir yang dilapisi gula leleh. Saya baru coba, dan langsung suka. Gulanya ituloh mengingatkan ke jajanan gulali zaman sekolah dasar. Jangan banyak-banyak yaa, selain karena gak baik kebanyakan konsumsi gula, penjualnya juga pakai pewarna makanan biar merahnya gonjreng banget. Dan satu lagi, hati-hati kalau ada tambahan permen cacing (seperti yang terlihat di gambar atas) karena kita gak tahu gelatin apa yang digunakan kan.

Bilal juga suka, jadi rebutan deh sama Ambunya hihi.

Champignon & Blumenkohl

Sesederhana jamur dan kembang kol goreng. Tapi bisa selezat itu, beneran. Sayang, pas kebetulan kembang kolnya sudah habis di hari terakhir kami ke Weihnachtsmarkt.

Lebkuchen

Lebkuchen atau dalam bahasa Indonesia adalah kue jahe, alias ginger bread. Ciri khas natal memang. Nah, di Jerman, tepatnya hanya di Weihnachtsmarkt bentuknya seperti ini. Tersedia dalam berbagai ukuran dan tulisan, entah bisa request atau tidak. Pernah dibeliin suami satu, saat musim dingin pertama saya tahun 2016, tapi berakhir pada tong sampah karena berbulan-bulan dianggurin gitu aja huhu. Makanya gak mau beli lagi, gak mau dikasih lagi, khawatir mubazir. Tapi gemes yaa, pas banget nemu yang tulisannya ‘Biene’. MashaaAllaah.

Uncategorized

Two Firsts At Once

22. November 2018

Based on my schedule, I should have posted the article about our weekend getaway trip to Den Haag today. Human plans, but still Allah is the best planner. I have already the draft, just need some more finishing so that it will be up soon inshaaAllah. By the way, instead of posting that article, I decided to write this unexpected article first today. Consider it as a subtitute, perhaps.

Sooo, the story I wanna share is that I just managed to delete exactly half of my instagram feeds today. If you wonder why, the answer is because after all this time I was considering to “hide” or even quit instagram, I finally became so sure to do it after I probably experience the effects of ‘Ain towards my baby. Yes, Bilal, he has always been healthy and fit since he was born mashaaAllaah. But yesterday afternoon, when he just woke up from nap, he suddenly got fever so high, 39,3°C. He was completely fine before he sleeps, he was so active as usual. The fever happened just like a shock. Fine, I admit that I posted some pictures of him and our family picture in instagram short before he fell asleep, and I was looking with too much adore look to his face when he just fell asleep. That’s why the first thing came to my mind when I found my firsborn just got his first fever was… this must be ‘Ain! I immediately watched again some speech talking about ‘Ain in utube. How frightened I am to get reminded how harm the ‘Ain is. All night long I can’t stop worrying how bad ‘Ain would hit my baby bee. Because Rasullullah (peace be upon him) said that ‘Ain could even bring somebody to death. Naudzubillahi min dzalik. Then yeah, to prevent worse things, I decided to stop expossing my family in social media isnhaaAllah. I pray that Allah keeps my intentions pure lillahita’alaa, aamiin.

Well, what happened to Bilal is not the only thing that assure me that ‘Ain is real. Believe it or not, before the recent family picture was up on my instagram feeds, Bilal got fever, then… we, the parents had big arguements during the day. I was crying like crazy, can’t believe how could it be that my marriage all of sudden come to such an hazard. May Allah protect all of us from bad things, in this dunya, and more so in akhira.

But alhamdulillah, everything got much better now after the big step I took today, learn how to wisely use social media. The fever is gone. I hope our baby will have speedy recovery, inshaaAllaah. Aaand, the good news is, AFTER 2 YEARS 8 MONTHS and 2 DAYS MARRIED, I FINALLY GOT A BOUQUET OF BEAUTIFUL WHITE FLOWERS FROM THE CUTE HUSBAND OF MINE. I was always wondering when would he give me A flower, and which flower will it be? I just got the answer today. MashaaAllah, tabarakallah. May Allah shower us with mercy, blessings, and true love. Aamiin. See? This story worth to be written so that the readers hopefully could take the hikmah from it, and it surely will be a nice reminder to the writer as well inshaaAllaah.

Culinary Europe Traveling

Benelux Backpacking One Day Trips (Part 3 – Luxembourg)

11. November 2018

Luxembourg menjadi destinasi terakhir dalam rangkaian perjalanan Benelux ini. Berbeda dengan perjalanan sebelumnya ke Amsterdam, Belanda yang mendebarkan sebagai debut pengalaman traveling keluarga kami. Berbeda pula dengan perjalanan kami ke Brüssels, Belgia yang menggairahkan dengan itinerary yahud yang telah matang disiapkan. Awalnya justru saya agak underestimated destinasi yang satu ini. Negara kecil, tak menarik sama sekali. Maka saya research lebih jauh mengenai Luxembourg, dan saya menemukan beberapa fakta menarik dari Luxembourg, yang diantaranya adalah Luxembourg sebagai salah satu negara terkecil di Eropa. Negara ini lokasinya berbatasan dengan tiga negara eropa lainnya, yakni Prancis, Jerman dan Belgia. Tapi tak berbatasan dengan laut sama sekali. Menariknya, penduduknya yang hanya separuh dari jumlah penduduk kota Bogor ini sebagian besar (lebih dari 50% menurut survey) adalah pendatang, bukan warga asli Luxembourg. Kenapa? Karena seperti yang dilansir majalah Global Finance, Luxembourg dinobatkan sebagai negara terkaya kedua di dunia setelah Qatar. Ini membuat Luxembourg memiliki PDB per kapita tertinggi di dunia dengan tingkat pengangguran 4,4% dari seluruh angkatan kerja pada Juli 2005. Ini disebabkan oleh ekonomi stabil, pajak dan inflasi yang relatif rendah pula. Sektor jasa, khususnya perbankan, menyumbangkan proporsi yang bertumbuh dari ekonomi.  Kalau kata suami sih orang bisa dengan mudah bikin bank baru, pemerintah tak mempersulit regulasinya. Maka dengan beberapa hal menjanjikan tadi, tak heran kalau Luxembourg menjadi tujuan orang-orang dari berbagai penjuru dunia untuk berbondong-bondong mengadu nasib. Wong, perusahaan besar macam Skype dan Amazon aja original headquarters atau kantor pusatnya disini. Yaudah, daripada intronya makin panjang, lebih baik kita langsung to the point aja yaa hehe.

LUX for Luxembourg

Luxembourg, 29 September 2018.

Awalnya kami merencanakan Luxembourg Trip ini pada bulan Oktober, biar hemat juga satu bulan satu negara. Demi mengejar musim panas yang hampir berakhir, hawa dingin pun sudah mulai dirasa, maka kami memutuskan untuk melakukan perjalanan terakhir dalam rangkaian Benelux Trip secepatnya. Lagipula setelah dicek, berangkat lebih awal atau nanti pun harga tiketnya sama saja, sekitar 140€ atau Rp 2,3jt menurut kurs saat ini untuk pulang-pergi bertiga. Kami menggunakan kereta Deutsche Bahn dengan dua transit, di  Koblenz dan Trier. Namun jenis kereta DB ICE yang kami gunakan dari Dortmund ke Koblenz merupakan kereta yang lebih besar dari kereta cepat Jerman yang biasa kami gunakan. Baru dari Koblenz ke Luxembourg sama-sama pakai yang jenis RE. Kebetulan saat pulangnya kami hanya dua kali transit, tak lagi transit di Trier.

DB ICE

Disediakan tempat khusus untuk stroller, sepeda dan koper. Keretanya besan dan desain intereriornya lebih elegan.

Karena bisa duduk di stroller, seperti menggunakan carseat saja, Bilal bisa tidur selama perjalanan dari Dortmund ke Trier. Saya pun ikut tertidur dan terbangun menjelang transit di Koblenz. Ketika terbangun saat hampir sampai Koblenz, kereta melintasi pesisir sungai Rhine yang mashaaAllah cantik sekali, walaupun saat itu sedang diselumuti kabut yang sangat tebal. Tak ada fotonya yang dapat dibagikan karena memang sulit untuk mengabadikan momen tersebut, jadilah foto-fotonya blur.

Saat transit di Koblenz, lorong stasiunnya instagram-able yaa hehe.

Kami melewati kota Cochem di perjalanan dari Koblenz ke Trier. Kota Cochem adalah ibukota distrik terkecil kedua di Jerman yang ekonominya  bertumpu pada industri wine dan pariwisata. Memang sih, terlihat dari kereta pun banyak banget bar, juga hotel-hotel atau penginapan gitu. Yaiyalah, wong kotanya secantik itu beiiib mashaaAllah. Jujur yaa, saya itu ingin sekali berlibur ke Swiss karena keindahan alamnya yang terkenal super menakjubkan. Nah, Cochem ini, kalau saya boleh bilang, tipikal pemandangannya sebalas-duabelas mirip sama yang saya lihat (walaupun baru dari layar aja sih hehe) sama pemandangan di Swiss. Saya sampai menitikkan air mata, amazed. Ini segini baru di dunia loh, bagaimana surga? MashaaAllah. Tersedu seketika karena dua hal; bersyukur dan berharap. Sangat bersyukur Allah kasih rizki berupa kesempatan untuk traveling atau tadabbur alam bersama keluarga dan menikmati keindahan ciptaan-Nya, bersyukur karena melihat Cochem yang elok merupakan kejutan-Nya yang tak terduga di perjalanan kali ini. Berharap Ayah, Ibu, adik-adik dan para sahabat juga bisa ikut melihat keagungan Allah atas keindahan alam ini. Lalu itu semua terkumpul dalam do’a, semoga Allah kumpulkan kita semua di Jannah, menikmati keindahan terbaik yang telah dijanjikan oleh-Nya, selamanya. Aamiin.

Pemandangan di sekitar kota Cochem.

Banyak mobil karavan yang parkir di tepi sungai Moselle di Cochem.

Pemandangan saat hampir tiba di Trier.

Sebenarnya dari Koblenz ada dua jalur kereta dari dan menuju Luxembourg. Ada yang transit dulu di Trier sebagaimana yang kami lalui ketika menuju Luxembourg, dan ada juga yang direct atau langsung tanpa transit seperti perjalanan pulang kami. Keduanya tak memiliki perbedaan lama perjalanan yang signifikan sih. Bedanya cuma harus transit dulu, atau direct. Tentu lebih praktis yang direct, terutama untuk perjalanan pulang setelah lelah seharian.

Kereta menuju Luxembourg, tak sebesar kereta sebelumnya yang membawa kami dari Dortmund kan?

Setelah melewati perjalanan darat selama kurang lebih lima jam, kami pun tiba di Luxembourg. Stasiun Luxembourg sepertinya tak sebesar stasiun-stasiun sentral di Amsterdam atau Belgia, atau terkesan begitu hanya karena sedang dilakukan renovasi saja? Secara umum, Stasiun Luxembourg tertata rapi, bersih, dan sudah mulai terlihat kalau Luxembourg ini artsy

Ada sedikit cerita nih. Jadi, begitu tiba di stasiun, Abahnya Bilal langsung melipir ke toilet di stasiun. Otomatis saya harus menunggu bersama Bilal, sambil menjaga stroller dan barang bawaan kami. Kebetulan saat itu Bilal rewel, gemas mau jalan, gak mau diam di stroller. Tapi giliran dilepas, malah lari. Karena serba salah, saya gendonglah Bilal. Eh, Bilal ngamuk sampai teriak-teriak. Mana kami posisinya di tengah stasiun, jadilah semua mata risih tertuju pada kami. Entah perasaan saya saja, atau memang orang-orang yang saya temui saat itu tidak ramah. Kesabaran saya diuji. Di kondisi seperti ini saya latih diri untuk tenang dan bersikap bodo amat, ini perjuangan seorang Ibu; anak tantrum depan umum yang mungkin untuk orang lain termasuk kejadian yang bikin malu. “Saya sudah menjadi ibu, saya harus bisa melalui ini. Saya yang waras harus bisa mengontrol diri untuk bantu Bilal mengenal emosinya sendiri. Ini salah satu ujian dari perjalanan kali ini, kita bisa lalui.”. Itu terus yang saya afirmasikan pada diri di saat genting seperti itu. Alhamdulillah, tak lama Abahnya Bilal datang dan memperbaiki suasana. Kok terbaca lebay, yah? Tapi percayalah drama-drama kecil macam gini bisa merusak mood sepanjang liburan, bahkan salah-salah bisa bikin anak trauma. Naudzubillahi min dzalik. Jadiii, selama liburan, memang pasti nih aaada aja drama-drama yang menghiasi cerita liburan kita. Nah, disitu seninya jalan-jalan jadi terasa seru dan memorable. So, kita harus pinter-pinter jaga niat biar liburan bisa dinikmati, dan lebih penting lagi bisa disyukuri, semaksimal mungkin. This is mainly noted to myself. 

Salah satu sisi artsy di Stasiun Luxembourg.

Kemudian Abahnya Bilal langsung beli One Day Tickets, harganya 4€ per orang. Saya sebenarnya ragu untuk beli, tapi untuk jaga-jaga yaa yowislah. Eh benar aja, pas keluar stasiun, kami lihat transportasi publik yang tersedia adalah bus yang to be honest saya kurang sreg. Kebetulan ke Luxembourg ini kami gak buat itinerary yang gimana-gimana, mau fokus  bertualang maksimal. Cuma ada beberapa target biasa aja, seperti at least foto di salah satu tourist attraction places, beli tempelan kulkas, jelajah masjid untuk shalat dzuhur dan ashar, dan makan siang. Udah gitu aja. Kami memilih Adolphe Bridge sebagai tourist attraction place, semacam buat bukti kalau kami pernah keliling Luxembourg hehe. Thanks to Google Maps, kami menemukan bahwa Adolphe Bridge letaknya tak begitu jauh dari stasiun. Masih bisa dicapai dengan jalan kaki, alhamdulillah. Lalu, selanjutnya, karena fokus pada bertualang, kami memilih untuk berjalan kaki saja. Dan akhirnya, One Day Tickets yang kami beli tak kami gunakan sama sekali doong. MashaaAllah. Penasaran kan? Kok bisa? Sampai sekarang pun kami masih suka ketawa berdua kalau ingat tiket yang mubazir itu. XD

One Day Ticket untuk transportasi keliling Luxembourg.

Keluar dari stasiun, keelokkan kota Luxembourg menyambut kami. Kami pun tak sabar untuk segera menjelajah kota.

Bilal looks so happy playing with Abah, doesn’t he?

Di jalan menuju Adolphe Bridge, kami melalui bangunan-bangunan berdisain klasik khasbenua Eropa. Beberapa kali kami melewati restoran, kiosk, atau minimarket. Beberapa kali juga suami menawarkan untuk jajan, mengganjal perut. Tapi saya menolak karena alasan berhemat haha, judlnya juga kan jalan-jalan backpacking ala-ala. Harus pandai berhematlah hoho. Lagipula kami sudah menyiapkan bekal dari rumah, potongan apel, mentimun, dan biskuit untuk Bilal sama Abahnya, serta mie goreng khusus untuk Ambunya aja hehe. Kebetulan di tengah jalan, kami menemukan taman kota yang asri, disediakan beberapa tempat duduk juga. Jadilah kami melipir sebentar untuk nyemil, mengganjal perut. Bilal pun bebas berlarian, bermain kejar-kejaran sama Abahnya. Saya? Saya sibuk mendokumentasikan, and doing live on instagram. Hehe.

Ngemil bekal di taman kota yang asri.

Salah satu bangunan elegan persis di depan taman kota yang kami singgahi.

Setelah “isi bensin” kami melanjutkan perjalanan menuju Adolphe Bridge, mengikuti arahan google maps. Tapi ternyata kami diarahkan untuk menuju Adolphe Bridge langsung, bukan ke tempat dimana kami bisa memotret sang jembatan hits tersebut. Maka, kami berinisiatif untuk cari sendiri tempat tersebut. Mengira-mengira. Hasilnya memang kami tak langsung sampai ke tujuan, tapi kami menemukan beberapa tempat dengan view oke yang jarang orang lalui. Sambil mencoba memecahkan teka-teki, kemana kami harus pergi? Tiba di ujung jembatan, kami mengikuti arah jembatan saja. Dan, biidznillah, kami sampai juga ke tempat tujuan yang benar. Banyak sekali turis disana yang berfoto dengan beragam pose ajaibnya masing-masing. Nah, ini ada beberapa dari foto Bilal dengan pose ajaibnya juga haha.

Bilal The Explorer lagi iseng icip ranting pohon.

Disogok pake biskuit baru deh Bilal mau anteng difoto.

Candid di depan Adolphe Bridge.

Tempat foto Adolphe Bridge ini sepertinya memang pusat turis yaa, jadi ada toko souvenir khas Luxembourg juga. Kami tidak menemui ada toko souvenir lagi setelah itu. Alhamdulillah, kami sempat membeli tempalan kulkas dengan harga standard untuk magnet kulkas di barat.

Salah satu gereja di dekat spot untuk foto Adolphe Bridge.

Setelah berhasil foto di mainstream spot, kami mencari masjid untuk shalat. Ketemu tuh masjidnya dari google maps, eh ndilalah Pak Suami malah ngajak bertualang dulu di tengah jalan menuju masjid. Jadilah kami spontan untuk keliling Luxembourg dengan melupakan google maps sejenak. Kami menemukan jalan-jalan kecil, yang khas Luxembourg banget. Oiya, Luxembourg itu artinya kastil-kastil kecil, maka tak heran kalau kita akan menemukan begitu banyak kastil-kastil berbagai ukuran dan disain di Luxembourg ini. Dan dari petualangan Nabilal yang dadakan nan sok ide inilah kami jadi tahu kalau salah satu keunikan kota ini adalah dengan struktur datarannya yang luar biasa bervariasi. Berbeda sekali dengan Belanda yang datarannya rata, nah kalau di Luxembourg ini mashaaAllah mayoritas naikan atau turunan, dan cukup curam. Beberapa kali kami menemukan jalan yang kira-kira sudut kemiringannya 50°. Iya, semiring itu beiiibs.

Some beautiful paths can’t be discovered without getting lost.

Salah satu jalanan di kota Luxembourg yang miringnya keterlaluan subhanallah Allahuakbar.

Rumah pinggir jalan begini aja jendelanya nyeni gitu masa. 

Yang seperti ini tuh yang Eropa banget gak sih?

Foto ini diambil dari bawah, ketika “nyasar”-nya kita sudah mentok ke jalan buntu yang ternyata enterance gate ke museum.

Khas Luxembourg banget.

Bangunan tua yang jadi sarang burung, mashaaAllah.

Di tengah petualangan spontan kami, kami menemukan taman bermain. Demi Bilal, kami melipir sebentar untuk bermain di playground ini. Bilal dan Abahnya pun gembira main ayunan masing-masing. Sebelum meninggalkan taman ini untuk menuju masjid, kami menyempatkan untuk mengganti diaper Bilal. Tentunya tetap mencari spot yang sepi dan meminimalisir jangkauan pandangan orang lain. Namanya traveling sama toddler yaa begini, harus bisa ngakalin gimana supaya kebutuhan anak terpenuhi, sehingga anak tetap nyaman selama liburan.

A playground we found in Luxembourg.

Association Islamique Le Juste Milieu (LJM) Asbl nama masjid yang kami kunjungi untuk #NabilalJelajahMasjid di Luxembourg. Masjid ini terletak di area perumahan gitu, dari luar memang tidak terlihat sebagai masjid. Biar begitu, di dalam masjidnya tetap bersih dan nyaman. Saya pun bisa dengan tenang menyusui Bilal di ruangan khusus perempuan. Pak Suami tak sempat mendokumentasikan seperti apa shaf untuk lelaki karena katanya saat itu masjid tengah ramai dengan jama’ah yang bersiap menunaikan shalat ashar.

Shaf khusus perempuan.

Keluar dari masjid, kami mencari restoran yang menyediakan makanan khas Luxembourg yang halal. Namun sayang, kami tak menemukan makanan atau jajanan apa yang khas dari Luxembourg, dan lagi hampir semua restoran halal di Luxembourg sedang tutup saat it. Sebagian dari mereka baru buka menjelang malam nanti, sedangkan kami tak bisa berlama-lama. Jadilah kami memilih untuk makan siang di salah satu kedai kebab, lokasinya strategis, sangat dekat dengan stasiun. Bisa dicapai dengan berjalan kaki juga dari Masjid.

Kedainya cukup luas, bersih, dan pelayanannya juga oke. Saya memesan burger mengingat burger halal termasuk langka disini karena daging yang digunakan adalah daging cincang asli, seperti daging burger Mekdi atau Raja Burger gitu. Bukan isian salami ala burger yang dijual di sekolahan hehe. Suami pesan Adana Kebab dengan burgul, plus pommes atau kentang goreng juga. Bilal? Bilal icip punya Ambu dan Abahnya aja yaa hoho kebetulan porsinya juga besar. Dua menu ini ditambah sekaleng Lipton ini harganya sekitar 20€. Sebenarnya rada kecewa sih gak makan makanan khas Luxembourg, kalau kebab begini juga di Dortmund mah banyak. Tapi yaa tetap harus bersyukur kan, masih ada yang bisa dimakan hehe. Alhamdulillah.

Makan siang di Luxembourg versi Abahnya Bilal.

Kalau ini versinya Ambu.

Stasiun Luxembourg di sore hari, diambil saat jalan pulang dari restoran.

Setelah makan, kami masih ada sisa waktu lumayan lama, sekitar sejam sebelum kereta kami siap berangkat. Pak Suami beberapa kali mengajak untuk ngeteh sore sambil ngemil kek sebagai dessert. Tapi melihat harganya kok yaa saya eman-eman haha dasar perempuan. Akhirnya begitu liat-liat di salah satu bakery ternama yang ada di stasiun, nemu macaroons, dan pengen. Eh sayang,  gak keburu karena tokonya sudah mau tutup. Baru deh dari situ browsing tentang macaroons di Luxembourg. Ternyata ada macaroons yang lebih terkenal, yang berasal Paris, Prancis sebagai jirannya Luxembourg. Namanya tokonya Ladurée. Well, jadi referensi nih kalau suatu saat liburan ke Paris inshaaAllah.

So, over all liburan kali ini adalah yang paling fleksibel dibanding dengan liburan kami sebelumnya ke Amsterdam dan Brüssels. Walaupun paling lama perjalanannya kalau dari Dortmund, tapi liburan kali ini terasa lebih santai. Mungkin karena itinerary yang dibuat gak se-“ngoyo” trips sebelumnya kali yaa hehe. Apalagi suami yang super excited pas jalan kaki bertiga jelajah kota Luxembourg, hanya mengikuti langkah kaki membawa kami. Ditambah keindahan ukiran alamnya yang suami suka sekali. Perjalanan yang hanya mengandalkan jalan kaki, tanpa transportasi sama sekali ini seperti jawaban atas wish suami di Brüssels beberapa pekan sebelumnya. Beliau pernah bilang di kereta di Brüssel kalau beliau sebenarnya kurang suka trip yang kelamaan di alat transportasi. Bagi beliau, eksplore suatu daerah dengan berjalan kaki itu yang seru. Semakin adventurous, semakin menarik. Jadilah perjalanan di Luxembourg ini cocok banget buat beliau. Saya pun ikut happy melihat suami sangat menikmati liburan kali ini. Bahkan Pak Suami sih pengen (pake) banget untuk jalan-jalan, yang literally jalan-jalan di Luxembourg lagi. Berbeda dengan beliau, saya sih merasa kalau Luxembourg ini sama seperti Keukenhof. Very nice, but for me, once is enough hehe. Lebih baik mengunjungi tempat-tempat baru yang sama-sama menarik untuk dikunjungi. Seperti kota Cochem misalnya hihi.

Alhamdulillah, akhirnya bucket list untuk mengunjungi Benelux di tahun ini atas izin Allah sudah terpenuhi. Salah satu bentuk nikmat Allah yang wajib kami syukuri. It’s obvious that we can’t hardly wait for the other trips coming forward. InshaaAllaah. See you

Culinary Europe Traveling

Benelux Backpacking One Day Trips (Part 2 – Netherlands)

7. November 2018

Sudah tahu kan kalau Benelux Trips kami ini bermula dari perjalanan dadakan kami ke Belanda di hari jadi Bilal yang pertama. Bukan, bukan untuk meryakan ulangtahun Bilal. Untuk lebih jelasnya, kenapa Benelux? Kenapa hanya sehari di hari Sabtu? Dan kenapa via kereta cepat antar negara dan bukan alat transportasi lainnya? Sila intip artikel sebelum ini mengenai perjalanan kami ke Brüssels, Belgium.

NE for NETHERLANDS

Amsterdam dan Zaanse Schans, 11 Agustus 2018.

Kami beli tiket mendadak, hanya beberapa hari sebelum berangkat. Maka kami dapat tiket dengan tarif pulang-pergi bertiga lumayan mahal, 129€ atau setara dengan sekitar Rp 2,1jt menurut kurs saat ini. Itu pun kami dapatnya yang tiga kali transit untuk ganti kereta. Dimulai dari Dortmund ke Münster dan dari Münster ke Enschede, kami menggunakan kereta cepat Jerman yang biasa kami gunakan, namanya Deutsche Bahn. Kereta cepat alias Schnellbahn dari Deutsche Bahn ini cukup nyaman, stroller bayi ada tempatnya khusus bersama sepeda. Sangat sepi, mungkin karena masih pagi dan di akhir pekan juga kali yaa. Iya, seperti biasa, kami berangkat sebelum matahari terbit di hari Sabtu. Semacam “sabtu bersama Abati” untuk Bilal hehe.

Di kereta menuju Münster, Bilal masih tidur di stroller.

Jajan Börek bayam dan cokelat panas untuk sarapan kilat di Stasiun Münster.

Ini di kereta menuju Enschede, Bilal baru bangun langsung dipangku Ambu.

Kami sempat mengalami sedikit kendala di Stasiun Enschede. E-ticket kami tak bisa terbaca mesin, jadilah selama sekitar limabelas menit kami harus mengurusnya ke Pusat Informasi setempat untuk mendapat tiket pengganti. Nah, ternyata Enschede ini semacam stasiun perbatasan antara Jerman dan Belanda. Ada pembatas yang memisahkan antara jalur kereta lokal Jerman dengan jalur kereta Belanda. Tentu saja, kereta lokal masing-masing negara pun berbeda. Menurut saya, kereta lokal Belanda cenderung lebih besar. Oiya, ada sedikit cerita di stasiun ini, saat perjalanan pulang kami melihat ada remaja-remaja yang membawa sepeda, namun kemudian ditegur oleh petugas. Mereka pun akhirnya meninggalkan sepeda mereka begitu saja di stasiun. Suami saya menjelaskan bahwa mereka adalah remaja Belanda yang salah faham mengenai peraturan Deutsche Bahn. Mereka kira gratis membawa sepeda dalam Deutsche Bahn, nyatanya ada harga khusus untuk penumpang yang membawa sepeda. Mereka pun memilih meninggalkan sepeda begitu saja di stasiun karena sepertinya mereka tinggal di sekitar perbatasan, mungkin pertama kali bawa sepeda pakai kereta, atau mungkin juga pertama kali ditegur oleh petugas haha.

Dari Enschede ke Utrecht, baru dari Utrecht Centraal ke Amsterdam Centraal. Sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan yang mashaaAllah indah sekali. Hamparan rumput hijau dan langit biru yang cerah. Ini yang kami suka dari perkalanan menggunakan kereta. Ehiya, mertua-mertua saya selalu mengingatkan untuk perhatikan perbedaan antara Jerman dan Belanda saat di perbatasan. Apa itu perbedaan yang dimaksud? Selain bahasanya, juga landscapenya. Di Belanda tanahnya cenderung lebih rata, tak ada bukit atau dataran tinggi, maupun yang dataran rendah. Semua cenderung rata. Tak seperti di Jerman yang rumah di perbukitan dapat terlihat dari dataran yang lebih rendah. Allahuakbar. Desain bangunannya pun berbeda, desain bangunan di Belanda sangat mirip dengan desain bangunan tua di Indonesia. Wajar lah yaa, karena Belanda pernah menjajah di Indonesia, sehingga banyak memengaruhi arsitektur bangunan di tanah air.

Kami tiba di Amsterdam pukul sebelas siang. Di stasiun Amsterdam Centraal sangat ramai dengan turis dari berbagai penjuru dunia. Dalam keramaian itu, saya terpukau sendiri dengan keindahan arsitektur stasiun, megah. Saya perhatikan detil ukiran di dinding dan langit-langit stasiun, cantik. Tanpa terasa saya pun menitikkan air mata haru, akhirnya saya menginjakkan kaki di ibukota Belanda ini. Yang sebelumnya hanya saya lihat dari gambar di layar, kini saya dapat menyaksikannya langsung. Betapa Allah baiknya pada saya, alhamdulillah.

Melihat keindahan stasiun yang klasik ini, rasanya tak sabar untuk langsung menjelajah Amsterdam. Namun, saya ingin menyempatkan mampir ke Zaanse Schans terlebih dahulu. Setelah tanya ke petugas disana, mereka menyarankan untuk beli tiket Zaanse Schans terpisah karena jatuhnya jadi lebih murah. Harga tiket kereta lokal (pulang-pergi) dari Amsterdam ke Zaanse Schans adalah 7,5€ per orang, toddler seperti Bilal masih gratis. Perjalanannya memakan waktu sekitar duapuluh menit ke Stasiun Zaanjik, lalu kemudian sekitar sepuluh menit jalan kaki.

Untuk menuju Zaanse Schans, kita harus berhenti di Zaandijk.

Zaanse Schans adalah desa tradisional yang sangat terkenal di kalangan turis. Bangunan-bangunan tua yang khas menjadi daya tarik tersendiri. Kincir angin menjadi highlight dari tempat wisata ini. Bayangkan, kincir angin tradisional dari abad ke-19 masih bekerja dengan normal hingga saat ini. Ditambah suasana pedesaan yang tenang, beberapa peninggalan industri kuno yang masih terawat dengan apik, tak heran Zaanse Schans ini ramai dikunjungi. Wong, jalan kaki keliling desa saja sudah bikin rileks. MashaaAllah. Dan ya, kami bertemu dengan beberapa turis asal Indonesia juga loh hehe.

Kami mencoba ambil jalan berbeda dari petunjuk arah google maps, sekedar untuk mendapatkan sensasi petualang, dan kami menemukan ini. Perumahan yang tua, namun tetap cantik nan klasik, mengingatkan saya pada kampung halaman.

Keindahan yang menyapa kami begitu tiba di Zaanse Schans.

Sesibuk itu memak Pak Suami. Sampai lagi liburan kilat pun masih sesekali urus kerjaan. Semoga Allah senantiasa merahmati beliau, aamiin.

Bilal dan Abahnya berpose depan sepasang bebek yang sedang berenang di danau Zaanse Schans.

Bilal yang lagi ngefans sama bebek, akhirnya meet and greet di Zaanse Schans haha.

Bilal nangkring di batang pohon.

Di area wisata kincir angin ini, kita bisa melihat beragam binatang ternak, seperti domba, sapi, dsb. Ada beberapa museum, pabrik keju, pabrik cokelat, dan tentunya beberapa toko yang menjual souvenir dan berbagai barang vintage lainnya. Karena saya tak yakin bisa membeli tempelan kulkas di Amsterdam, saya pun beli magnet kulkas khas Zaanse Schans dan kota Amsterdam disini. Harganya juga standard, sekitar 3€ satuannya. Di samping itu semua, ada pula toko yang menyediakan cemilan seperti es krim, cokelat panas, dan wafel. Kami pun menikmati es krim yang sangat terasa susunya itu, ngemper persis di depan kincir angin. 

Anggap aja ngedate ala-ala. Padahal udaranya sudah mulai dingin, walaupun sebenarnya masih musim panas.

Hari semakin sore, kami pun memutuskan segera untuk kembali ke Amsterdam untuk shalat dan makan siang. Di jalan menuju stasiun, kami menemukan museum peralatan konstruksi tua yang cukup menarik perhatian suami. 

Foto keluarga super maksa, harap maklum yaa hehe.

Lalu kami kembali ke Amsterdam Centraal, berfoto depan stasiun dengan spot yang sangat mainstream ala turis. Saya terharu lagi, membatin, “Ini kan biasanya liat di layar aja, sekarang depan mata langsung. Bermimpi pun tak sempat, benar-benar Allah Maha Baik.”. Setelah itu, suami beli tiket transportasi kota untuk seharian keliling Amsterdam, harganya 7,5€ per orang. Bilal masih free. Tempatnya ada di dalam stasiun, dekat pintu keluar. Tapi hari ini One day Ticket sedang habis, adanya yang Two Days Ticket. Petugas menyarankan kami untuk beli di booth di luar stasiun. Benar saja, ada mobil khusus untuk menjual tiket ini. Sebenarnya bisa saja beli tiket satuan yang dihitung per stasiun, kami ambil tiket seharian biar simple saja.

Ini daftar harganya, makin banyak harinya makin murah.

Bilal dan Abahnya berpose depan stasiun Amsterdam Centraal.

Masih di sekitar stasiun Amsterdam Centraal.

Kami langsung menuju ke Westermoskee Aya Sofya Amsterdam untuk jelajah masjid di trip kali ini, sekalian shalat dzuhur dan ashar. Jaraknya sekitar duapuluh menit menggunakan trem dari Amsterdam Centraal. Selama di perjalanan kita bisa melihat-lihat kota Amsterdam yang cantik dengan kanal-kanalnya yang khas Amsterdam banget. Masjidnya bersih, rapi, dan arsitekturnya sangat elegan mashaaAllah. Sayang, kami tak sempat foto-foto lama karena dikejar waktu. Boleh dilihat sendiri gambar-gambarnya di google. Pokoknya kalau ke Amsterdam, menurut kami, harus deh mampir ke masjid ini. Di masjid ini kami bergantian shalat, saya menyusui Bilal, Bilal ngemil smoothie, diakhiri dengan kerjasama ganti diapernya Bilal.

Shaf khusus laki-laki.

Bilal ikut sujud. Maaf, Bilal masih pakai sepatu karena ini sebenarnya masih di pintu masuk area perempuan. Belum sampai  shaf khusus akhwat.

Nih, sudah lepas sepatu di shaf khusus perempuan. Bilal lagi ngemil smoothie. Lupa  duduk, jadi sambil berdiri, jangan diikuti yaa. Ikuti sunah Rasulullah aja, makan dan minum sambil duduk. 🙂

Setelah kami selesai, kami mencari restoran Indonesia terdekat. Kami menemukan Restoran Bunda, yang hanya berjarak sekitar sekilometer dari masjid. Sepuluh menitan berjalan kaki. Kami menikmati saat-saat jalan kaki seperti ini karena kami bisa menikmati udara segar, mengeksplor lingkungan sekitar sambil mengobrol dan bercanda. Benar-benar quality time. 

Ternyata letak restonya cukup strategis, tepat di pinggir jalan besar. Begitu tiba, kami langsung pesan menu Rijsttafel untuk dua orang. Rijsttafel, dibaca “rèisttafel”, secara harfiah dalam Bahasa Belanda berarti “meja nasi”, merupakan cara penyajian makanan berurutan dengan pilihan hidangan dari berbagai daerah di Nusantara. Ibu pemilik resto dengan ramah bertanya, “Ini porsi besar loh, yakin mau?”. Saya tersenyum dan meyakinkan beliau kalau kami sedang lapar, dan kebetulan porsi makan kami (terutama suami) memang lumayan besar haha.

Sate ayam tak sempat masuk frame.

Harganya 29€, ditambah sekaleng coca-cola dan sedikit tips, jadi sekitar 30€-an in total. Mahal? Yaa kalau dibandingkannya sama warteg di Indonesia. Menurut kami, ini relatif murah untuk ukuran makanan khas Indonesia yang lezat dan otentik, di tanah Eropa pula. Langka. Yaa daripada masak sendiri juga, belum tentu hasilnya seenak ini kan. Kami sangat menikmati sajian di restoran ini, tempatnya pun bersih, pelayanannya oke. Selama kami makan di Resto Bunda ini, restonya cukup ramai pembeli. Bule doyan makanan Indonesia juga toh hehe. Gak menyesal sama sekali lah sudah jauh-jauh dari Dortmund kesana untuk sekedar melepas rindu dengan cita rasa Nusantara.

Satu-satunya kanal yang kami sempat dokumentasikan. Ini kanal persis depan stasiun Amsterdam. Last minutes before departure back to Germany.

Sebelum pulang, saya sempat melihat parkiran sepeda yang mashaaAllah padatnya serupa dengan parkiran motor di Indonesia. Gak heran sih karena sepeda jadi transportasi favorite di kota ini. Pemerintahnya benar-benar memperhatikan fasilitas untuk pesepeda, seperti lajur khusus pesepada di jalan lebih besar dari trotoar untuk pedestrian. Bahkan, menurut cerita dan kami alami sendiri juga, para pesepeda di Amsterdam ini tak segan menabrak pejalan kaki yang seenaknya ambil hak mereka di jalan. Jadi, kita sebagai turis, harus lebih berhati-hati.

Parkiran sepeda yang bikin takjub. 

Dan pada kesimpulannya adalah trip perdana Nabilal ini sejujurnya lumayan “rusuh” bagi kami. Itinerary yang direncanakan terlalu padat, sehingga kami harus diburu waktu. Belajar dari pengalaman kami, jika pembaca ingin mengunjungi Zaanse Schans juga, sebaiknya sediakan waktu minimal sehari khusus untuk jelajah Zaanse Schans. Sepertinya akan lebih efesien apabila fokus menjelajah Amsterdam saja seharian. Kalau mau jelajah kota jirannya, mending siapkan waktu ekstra lagi. Allahu’alam.

But after all, alhamdulillah, Amsterdam asik banget! Kayanya emang magis sih keelokkan kota ini, semacam cakep terus di segala musim gitu gak sih? We definitely will come back again soon inshaaAllaah. So, now, I wonder, where will we go on 11st of August next year? haha jadi mulai ketagihan kan. See you on the next trip, dear readers!