Sudah tahu kan kalau Benelux Trips kami ini bermula dari perjalanan dadakan kami ke Belanda di hari jadi Bilal yang pertama. Bukan, bukan untuk meryakan ulangtahun Bilal. Untuk lebih jelasnya, kenapa Benelux? Kenapa hanya sehari di hari Sabtu? Dan kenapa via kereta cepat antar negara dan bukan alat transportasi lainnya? Sila intip artikel sebelum ini mengenai perjalanan kami ke Brüssels, Belgium.
NE for NETHERLANDS
Amsterdam dan Zaanse Schans, 11 Agustus 2018.
Kami beli tiket mendadak, hanya beberapa hari sebelum berangkat. Maka kami dapat tiket dengan tarif pulang-pergi bertiga lumayan mahal, 129€ atau setara dengan sekitar Rp 2,1jt menurut kurs saat ini. Itu pun kami dapatnya yang tiga kali transit untuk ganti kereta. Dimulai dari Dortmund ke Münster dan dari Münster ke Enschede, kami menggunakan kereta cepat Jerman yang biasa kami gunakan, namanya Deutsche Bahn. Kereta cepat alias Schnellbahn dari Deutsche Bahn ini cukup nyaman, stroller bayi ada tempatnya khusus bersama sepeda. Sangat sepi, mungkin karena masih pagi dan di akhir pekan juga kali yaa. Iya, seperti biasa, kami berangkat sebelum matahari terbit di hari Sabtu. Semacam “sabtu bersama Abati” untuk Bilal hehe.
Kami sempat mengalami sedikit kendala di Stasiun Enschede. E-ticket kami tak bisa terbaca mesin, jadilah selama sekitar limabelas menit kami harus mengurusnya ke Pusat Informasi setempat untuk mendapat tiket pengganti. Nah, ternyata Enschede ini semacam stasiun perbatasan antara Jerman dan Belanda. Ada pembatas yang memisahkan antara jalur kereta lokal Jerman dengan jalur kereta Belanda. Tentu saja, kereta lokal masing-masing negara pun berbeda. Menurut saya, kereta lokal Belanda cenderung lebih besar. Oiya, ada sedikit cerita di stasiun ini, saat perjalanan pulang kami melihat ada remaja-remaja yang membawa sepeda, namun kemudian ditegur oleh petugas. Mereka pun akhirnya meninggalkan sepeda mereka begitu saja di stasiun. Suami saya menjelaskan bahwa mereka adalah remaja Belanda yang salah faham mengenai peraturan Deutsche Bahn. Mereka kira gratis membawa sepeda dalam Deutsche Bahn, nyatanya ada harga khusus untuk penumpang yang membawa sepeda. Mereka pun memilih meninggalkan sepeda begitu saja di stasiun karena sepertinya mereka tinggal di sekitar perbatasan, mungkin pertama kali bawa sepeda pakai kereta, atau mungkin juga pertama kali ditegur oleh petugas haha.
Dari Enschede ke Utrecht, baru dari Utrecht Centraal ke Amsterdam Centraal. Sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan yang mashaaAllah indah sekali. Hamparan rumput hijau dan langit biru yang cerah. Ini yang kami suka dari perkalanan menggunakan kereta. Ehiya, mertua-mertua saya selalu mengingatkan untuk perhatikan perbedaan antara Jerman dan Belanda saat di perbatasan. Apa itu perbedaan yang dimaksud? Selain bahasanya, juga landscapenya. Di Belanda tanahnya cenderung lebih rata, tak ada bukit atau dataran tinggi, maupun yang dataran rendah. Semua cenderung rata. Tak seperti di Jerman yang rumah di perbukitan dapat terlihat dari dataran yang lebih rendah. Allahuakbar. Desain bangunannya pun berbeda, desain bangunan di Belanda sangat mirip dengan desain bangunan tua di Indonesia. Wajar lah yaa, karena Belanda pernah menjajah di Indonesia, sehingga banyak memengaruhi arsitektur bangunan di tanah air.
Kami tiba di Amsterdam pukul sebelas siang. Di stasiun Amsterdam Centraal sangat ramai dengan turis dari berbagai penjuru dunia. Dalam keramaian itu, saya terpukau sendiri dengan keindahan arsitektur stasiun, megah. Saya perhatikan detil ukiran di dinding dan langit-langit stasiun, cantik. Tanpa terasa saya pun menitikkan air mata haru, akhirnya saya menginjakkan kaki di ibukota Belanda ini. Yang sebelumnya hanya saya lihat dari gambar di layar, kini saya dapat menyaksikannya langsung. Betapa Allah baiknya pada saya, alhamdulillah.
Melihat keindahan stasiun yang klasik ini, rasanya tak sabar untuk langsung menjelajah Amsterdam. Namun, saya ingin menyempatkan mampir ke Zaanse Schans terlebih dahulu. Setelah tanya ke petugas disana, mereka menyarankan untuk beli tiket Zaanse Schans terpisah karena jatuhnya jadi lebih murah. Harga tiket kereta lokal (pulang-pergi) dari Amsterdam ke Zaanse Schans adalah 7,5€ per orang, toddler seperti Bilal masih gratis. Perjalanannya memakan waktu sekitar duapuluh menit ke Stasiun Zaanjik, lalu kemudian sekitar sepuluh menit jalan kaki.
Zaanse Schans adalah desa tradisional yang sangat terkenal di kalangan turis. Bangunan-bangunan tua yang khas menjadi daya tarik tersendiri. Kincir angin menjadi highlight dari tempat wisata ini. Bayangkan, kincir angin tradisional dari abad ke-19 masih bekerja dengan normal hingga saat ini. Ditambah suasana pedesaan yang tenang, beberapa peninggalan industri kuno yang masih terawat dengan apik, tak heran Zaanse Schans ini ramai dikunjungi. Wong, jalan kaki keliling desa saja sudah bikin rileks. MashaaAllah. Dan ya, kami bertemu dengan beberapa turis asal Indonesia juga loh hehe.
Di area wisata kincir angin ini, kita bisa melihat beragam binatang ternak, seperti domba, sapi, dsb. Ada beberapa museum, pabrik keju, pabrik cokelat, dan tentunya beberapa toko yang menjual souvenir dan berbagai barang vintage lainnya. Karena saya tak yakin bisa membeli tempelan kulkas di Amsterdam, saya pun beli magnet kulkas khas Zaanse Schans dan kota Amsterdam disini. Harganya juga standard, sekitar 3€ satuannya. Di samping itu semua, ada pula toko yang menyediakan cemilan seperti es krim, cokelat panas, dan wafel. Kami pun menikmati es krim yang sangat terasa susunya itu, ngemper persis di depan kincir angin.
Hari semakin sore, kami pun memutuskan segera untuk kembali ke Amsterdam untuk shalat dan makan siang. Di jalan menuju stasiun, kami menemukan museum peralatan konstruksi tua yang cukup menarik perhatian suami.
Lalu kami kembali ke Amsterdam Centraal, berfoto depan stasiun dengan spot yang sangat mainstream ala turis. Saya terharu lagi, membatin, “Ini kan biasanya liat di layar aja, sekarang depan mata langsung. Bermimpi pun tak sempat, benar-benar Allah Maha Baik.”. Setelah itu, suami beli tiket transportasi kota untuk seharian keliling Amsterdam, harganya 7,5€ per orang. Bilal masih free. Tempatnya ada di dalam stasiun, dekat pintu keluar. Tapi hari ini One day Ticket sedang habis, adanya yang Two Days Ticket. Petugas menyarankan kami untuk beli di booth di luar stasiun. Benar saja, ada mobil khusus untuk menjual tiket ini. Sebenarnya bisa saja beli tiket satuan yang dihitung per stasiun, kami ambil tiket seharian biar simple saja.
Kami langsung menuju ke Westermoskee Aya Sofya Amsterdam untuk jelajah masjid di trip kali ini, sekalian shalat dzuhur dan ashar. Jaraknya sekitar duapuluh menit menggunakan trem dari Amsterdam Centraal. Selama di perjalanan kita bisa melihat-lihat kota Amsterdam yang cantik dengan kanal-kanalnya yang khas Amsterdam banget. Masjidnya bersih, rapi, dan arsitekturnya sangat elegan mashaaAllah. Sayang, kami tak sempat foto-foto lama karena dikejar waktu. Boleh dilihat sendiri gambar-gambarnya di google. Pokoknya kalau ke Amsterdam, menurut kami, harus deh mampir ke masjid ini. Di masjid ini kami bergantian shalat, saya menyusui Bilal, Bilal ngemil smoothie, diakhiri dengan kerjasama ganti diapernya Bilal.
Setelah kami selesai, kami mencari restoran Indonesia terdekat. Kami menemukan Restoran Bunda, yang hanya berjarak sekitar sekilometer dari masjid. Sepuluh menitan berjalan kaki. Kami menikmati saat-saat jalan kaki seperti ini karena kami bisa menikmati udara segar, mengeksplor lingkungan sekitar sambil mengobrol dan bercanda. Benar-benar quality time.
Ternyata letak restonya cukup strategis, tepat di pinggir jalan besar. Begitu tiba, kami langsung pesan menu Rijsttafel untuk dua orang. Rijsttafel, dibaca “rèisttafel”, secara harfiah dalam Bahasa Belanda berarti “meja nasi”, merupakan cara penyajian makanan berurutan dengan pilihan hidangan dari berbagai daerah di Nusantara. Ibu pemilik resto dengan ramah bertanya, “Ini porsi besar loh, yakin mau?”. Saya tersenyum dan meyakinkan beliau kalau kami sedang lapar, dan kebetulan porsi makan kami (terutama suami) memang lumayan besar haha.
Harganya 29€, ditambah sekaleng coca-cola dan sedikit tips, jadi sekitar 30€-an in total. Mahal? Yaa kalau dibandingkannya sama warteg di Indonesia. Menurut kami, ini relatif murah untuk ukuran makanan khas Indonesia yang lezat dan otentik, di tanah Eropa pula. Langka. Yaa daripada masak sendiri juga, belum tentu hasilnya seenak ini kan. Kami sangat menikmati sajian di restoran ini, tempatnya pun bersih, pelayanannya oke. Selama kami makan di Resto Bunda ini, restonya cukup ramai pembeli. Bule doyan makanan Indonesia juga toh hehe. Gak menyesal sama sekali lah sudah jauh-jauh dari Dortmund kesana untuk sekedar melepas rindu dengan cita rasa Nusantara.
Sebelum pulang, saya sempat melihat parkiran sepeda yang mashaaAllah padatnya serupa dengan parkiran motor di Indonesia. Gak heran sih karena sepeda jadi transportasi favorite di kota ini. Pemerintahnya benar-benar memperhatikan fasilitas untuk pesepeda, seperti lajur khusus pesepada di jalan lebih besar dari trotoar untuk pedestrian. Bahkan, menurut cerita dan kami alami sendiri juga, para pesepeda di Amsterdam ini tak segan menabrak pejalan kaki yang seenaknya ambil hak mereka di jalan. Jadi, kita sebagai turis, harus lebih berhati-hati.
Dan pada kesimpulannya adalah trip perdana Nabilal ini sejujurnya lumayan “rusuh” bagi kami. Itinerary yang direncanakan terlalu padat, sehingga kami harus diburu waktu. Belajar dari pengalaman kami, jika pembaca ingin mengunjungi Zaanse Schans juga, sebaiknya sediakan waktu minimal sehari khusus untuk jelajah Zaanse Schans. Sepertinya akan lebih efesien apabila fokus menjelajah Amsterdam saja seharian. Kalau mau jelajah kota jirannya, mending siapkan waktu ekstra lagi. Allahu’alam.
But after all, alhamdulillah, Amsterdam asik banget! Kayanya emang magis sih keelokkan kota ini, semacam cakep terus di segala musim gitu gak sih? We definitely will come back again soon inshaaAllaah. So, now, I wonder, where will we go on 11st of August next year? haha jadi mulai ketagihan kan. See you on the next trip, dear readers!
No Comments