Selamat pagi! Pagi ini Bilal, lengkap dengan pakaian unyu-nya, yaitu kostum beruang, membangunkan Oma dan Opa Bilal ke kamarnya. Oma yang buka pintu, masih dengan piyama dan muka bantal, super terkejut lihat Bilal sampai beliau berlinang air mata karena tawa harunya. MashaaAlaah. Mission complished, too bad that we didn’t record it huhu. Setelah itu kami kembali ke kamar, ganti pakaian, bersiap untuk sarapan.
Abis sarapan, Bilal peluk Oma erat banget. MashaaAllaah.
Selesai sarapan, kami mengangkut semua bawaan kembali ke mobil. Lalu kami pergi menuju pantai Scheveningen lagi karena Mama mertua ingin menikmati dan menunjukkan pada saya suasana pantai saat siang hari sebelum akhirnya kami pulang ke Dortmund. MashaaAllaah.
Jelas banget kayanya kalau Bilal terpaksa foto bareng Abahnya haha mashaaAllah
Beelden aan Zee, Tom Otterness: Fairy Tale Sculpture by the Sea
Di pinggiran pantai Scheveningen ada museum, nah ada seniman dari Amerika yang sengaja membuat karya seni berupa patung-patung di area terbuka sekitar pantai. Tujuannya agar bisa dinikmati oleh anak-anak sebagai taman bermain. Dalam tiap ilustrasi pahatannya terdapat makna kehidupan tersendiri.
Ada yang bisa menemukan kami dalam gambar yang diambil oleh suami saya ini?
Salero Minang
Sejak tahun pertama tinggal di Jerman, pun saat hamil, saya sudah mengidam-idamkan makan di restoran Indonesia. Nah dari apa yang saya dapat dari browsing sana-sini, ketemulah info bahwa restoran Indonesia yang paling banyak pilihannya memang di Belanda, tepatnya di Amsterdam dan Den Haag. Kebetulan saya menemukan Salero Minang, rumah makan khas Padang di Den Haag. Jadilah saya seakan mewajibkan diri mampir ke resto ini bila suatu saat main ke Den Haag. Alhamdulillah, Allah kasih rizki tak terduga, diajak Mama mertua ke Den Haag. Maka, tsebelum pulang ke Jerman, saya request makan siang di Salero Minang. Saya ingat betul, saya bilang ke Mama mertua di perjalanan menuju restoran ini, “Banyak orang terkenal, kaya seleb, orang penting, dsb, yang makan di Salero Minang kalau mereka berkunjung ke Belanda lho Maa”. Terus Mama mertua menjawab, “Wah berarti orang keren dong yang makan disana, kita juga kan?”. Hahaha bisa aja.
Begitu tiba di daerah sekitar resto, saya sangat excited, saya kenal betul tikungannya karena beberapa kali melihat gambar yang dibagikan pengunjung resto di instagram. Namun mood saya berubah total begitu melewati restonya saat sedang mencari tempat parkir. Kenapa? RESTONYA TUTUP DONG GEEENGS. Monangis akutu. Dadah rendang, dadah dendeng balado, dadah sambal ijo huhu. Alhamdulillah ala kulli hal, Mama mertua baik banget mau mengambil gambar dari resto yang tutup ini. “Sini aku ambilin gambarnya, biar jadi bukti kalau kita pernah kesini.” :’)
Toko Nusantara
Walaupun resto pertama tutup, masih ada satu resto lagi yang mau saya sambangi selagi di kota tempat Perjanjian Konferensi Meja Bundar dibuat. Yakni, Toko Nusantara yang terkenal dengan bakso dan bubur ayamnya. Gak begitu jauh dari resto sebelumnya, letaknya cukup strategis di tepi jalan besar yang dilewati jalur trem juga. Begitu masuk ke restoran, mashaaAllaah rwame bener! Berhubung ramai, saya pesan untuk take away saja. Bakso beranak tiga, sekilo bakso kecil-kecil, dan seporsi bubur ayam. Totalnya 58€, atau sekitar sejutaan bila dirupiahkan, ini seingat saya yaa. Bapak pemilik resto ini ramah sekali melayani, ramah, senyum terus. Just to let you know, Bapaknya bilang kalau mereka gak jual mentahan begitu. Mereka kasih jual mentahan ke saya karena saya bilang di awal kalau kami datang dari Jerman. Mantapnya lagi, mereka gak terima kartu kredit loh! MashaaAllah tabarakallah.
Hasil perburuan di Den Haag. MashaaAllah, terima kasih Ar-Razzaq.
Cuma kurang sambel aja nih. Alhamdulillah, tombo kangen. Bisa sarapan bubur ayam tiap pagi, I wish.
Setelah ganti baju, kami turun ke restaurant hotel untuk sarapan. Flestcher Hotel Leidschendam, hotel yang kami tempati ini memiliki menu breakfast yang segar, satu-satunya yang non-halal yaa bacon babi tapi itupun terpisah. Cari aman aja, ambil sarapan dari menu khusus salad segar dengan variasi yoghurt, aneka sereal, roti-rotian, telur rebus, omelette, segitu udah enak alhamdulillah. Ada buah segar juga. Minumnya ada jus, teh, kopi, bebas pilih sesukanya. Tips juga nih, kalau lagi liburan ke negara non-muslim, sarapan di hotelnya ambil yang kering-kering aja. InshaaAllah aman, jelas kehalalannya.
Menuju ke resto hotel, kami melewati lobby hotel. Pintu masuk restonya persis di sebelah kiri.
Ada infused water gratis di sebelah receiptionist, boleh dinikmati sepuasnya.
Sarapan bareng Oma. MashaaAllah tabarakallah.
Setelah sarapan, Mama mertua mau belanja di pusat perbelanjaan seberang hotel. Disana ada toko-toko pakaian semacam H&M atau C&A, juga tokjo serba ada Hema, dsb. Ketika sedang lihat-lihat sambil menemani Mama mertua belanja di toko perhiasan, saya menemukan tas seperti yang sudah lama saya idamkan lagi diskon 70%. Saya langsung ambil, eh pas di cashier malah keduluan Mama mertua yang bayarin. Beliau juga suka tasnya, ‘Nabila banget’ katanya. So, I got another birthday gift! Alhamdulillahiladzi bini’matihi tatimmussalihat. Thank you sooo much Mama. Love you more.
Tasnya langsung dipakai dong hihi mashaaAllaah. Cocok gak? ^^
Kalau begini, Bilal mirip sama Abahnya yaa hehe mashaaAllah tabarakallah. Lagi main mahkota-mahkotaan yang Opanya ambil free dari HEMA.
Scheveningen Harbour
Qadarullah Opanya Bilal sakit, jadi beliau memilih untuk istirahat di hotel saja. Sementara kami pergi jalan-jalan. Awalnya kami belum tahu mau kemana, eh tau-tau sampai ke pelabuhan. Yaudah turun sebentar untuk foto-foto, meninggalkan Bilal yang lagi tidur di carseat.
Suasana pagi menjelang siang di pelabuhan Scheveningen. Cuma sebentar banget disini karena dingin dan sedang ramai oleh festival.
Simonis Restaurant
Udaranya dingin, perut sudah mulai lapar lagi. Pas masuk jam makan siang, jadi kami melipir ke Simonis Restaurant yang dekat pelabuhan. Resto ini terkenal dengan fresh seafoodnya, punya cabang banyak, salah satunya saya pernah lihat ada juga di pantai Scheveningen. Parkirnya tersedia khusus di depan restoran persis, luas dan gratis. Ketika masuk restoran, kita akan langsung disambut dengan suasana ala kapal, lengkap dengan beberapa aquarium berisi ikan dan lobster segar. Begitu lihat daftar menunya… hmm relatif mahal yaa.
Simonis’ menu ala carte.
Sok ide pengen nyobain fresh oyster tanpa diolah, saucenya dikasih lemon juice, cuka dan bawang. Not my taste, tetap amis huhu.
Shrimps in garlic oil pesanan Mama mertua.
Lobster saya, pesan yang separo aja hehe. Dilapisi keju yang meleleh, lezatnya mashaaAllaah. Karena pengalaman beberapa kali mendapati lobster yang dagingnya susah diambil, agak pahit atau sepet, dan amis di resto di Dortmund. Tapi yang ini sih hamdalah mantap gan! ^^
Salmon panggang punya Abahnya Bilal. Lumayan bisa buat sharing sama Bilal hehe
Salad di menu yang diambil Abahnya Bilal ternyata basi, jadi beliau komplain dan dapat ganti porsi salad yang segar dan lebih besar. Alhamdulillah.
China Town
Ternyata The Hague juga punya satu area yang penuh dengan nuansa Chinese. Kami tak sengaja menemukannya ketika sedang mencari masjid untuk shalat dzuhur dan ashar (dijamak). Dari foto di bawah, kelihatankah lampion dan gapura yang khas Chinese?
Masjidil Aksa Camii
Masjidnya terletak strategfis persis di pinggir jalan, namun agak sulit atau bahkan tak memungkinkan untuk parkir kendaraan sekitar masjid. Halaman masjid cukup luas, bangunan terlihat berwibawa dari luar. Namun sayang seribu sayang, saya mendapati pengalaman buruk di toiletnya yang kurang terjaga kebersihannya. Gelap, dan air menggenang di sekitar toilet. Gamis saya menyentuh genangan yang mungkin saja najis, maka saya pun membatalkan niat untuk shalat di masjid tersebut. Sungguh menyedihkan. Semoga kondisinya sudah jauh membaik saat ini. Lantas saya memilih untuk kembali ke hotel, berganti pakaian dan shalat di kamar hotel saja. Mengubah rencana kami semua, untung Mama mertua sangat pengertian alhamdulillah. Sisi baiknya, kami bisa menjemput Opanya Bilal untuk ikut ke pantai bersama kami.
Scheveningen Beach
The Kurhaus of Scheveningen bersama jejeran tenda-tenda cafe dan restoran di depannya.
Penampakan The Kurhaus dari dekat saat siang hari.
Persis di depan pantai, ada bangunan megah bernama The Kurhaus of Scheveningen. Bangunan yang dibangun dengan arsitektur Jerman pada abad ke-18 ini adalah tempat pertemuan sekaligus hotel para konglomerat pada zamannya. Sebut saja group band legendaris Rolling Stone pernah manggung disini sekitar tahun 60-an. Kini sudah terdaftar sebagai salah satu bangunan bersejarah dan dibuka untuk umum. Oiya, saya dan mama mertua ikut masuk karena bebas, jadi yaa sekedar numpang lewat untuk sekilas lihat-lihat. Ada group yang pakai tour guide. Disana saya lihat hall atau ruang pertemuan yang sangat luas dan artsy, bagaimana tidak, hampir sekeliling langit-langitnya diselimuti oleh lukisan jadul yang mewah dan ternyata pelukisnya didatangkan langsung dari Belgia. Btw, lukisannya sangat vulgar yaa, jadi gak saya share disini. Gak lolos sensor soalnya hehe.
Schveningen Pier, dermaga yang awalnya dibangun pada awal abad ke-19. Kemudian tahun 90-an dibeli oleh pihak swasta untuk dijadikan restoran dan kasino. Dua dekade berlalu, terjadi kebakaran yang mengakibatkan perusahan tersebut bangkrut. Pemerintah kota menutupnya di awal tahun 2013 karena kondisi bangunan yang tak memadai. Lalu, akhir tahun berikutnya bangunan di dermaga ini dibeli lagi oleh pihak swasta lainnya, dengan rencana renovasi dan membangun beberapa fitur baru. Barulah pada pertengahan tahun 2015 restaurant dan bazaar di dermaga Scheveningen ini kembali dibuka untuk umum, walaupun jumlah pengunjung dibatasi sebanyak 800 orang karena faktor keamanan, Di depan dermaga juga terdapat Bunge Jumping dan Bianglala sekarang.
Bianglala dan bulan purnama dalam satu gambar.
Setelah berkeliling dermaga, menemani Bilal menngeksplor sekitar, Mama mertua dan suami makan malam di restoran dalam mall sekitar pantai. Kami bertiga hanya diam saja sekitar hotel, saya mabok angin pantai soalnya huhu. Begitu Oma dan Opanya Bilal selesai, kami pun bergegas kembali ke hotel untuk istirahat.
Kegiatan terakhir di dermaga, Bilal pura-pura main mobil balap. Iya, pura-pura, karena kebetulan kami gak ada yang mengantongi receh hehe. Bilal sempat main piano juga lho, adanya video sih huhu.
Toko Deli
Saya tak sengaja menemukan Toko Deli di perjalanan dari pantai ke parkiran, tentu saya sempatkan mampir. Kalau dari gugel sih katanya restoran yaa, tapi menurut saya sih lebih kaya kedai kecil gitu bersebelahan dengan asian minimarket. Gak lihat ada yang dine in, para pembeli malam itu (termasuk saya) memilih untuk take away. Saya rada kabita sama makanan Indonesia yang tersedia di etalase, seperti rendang dan kawan-kawannya. Tapi mikir lagi, ah engga ah, sudah malam. Besok juga inshaaAllah rencananya mau makan di resto Indonesia. So, kami hanya beli sedikit cemilan, hitung-hitung balas dendam karena kemarin tak jadi jajan cemilan khas Indonesia hehe. Jadi, sistemnya tuh mereka sedia makanan dan cemilan nusantara yang sepertinya diambil dari produsen yang sama, terus dihangatkan begitu ada yang beli. Not fresh indeed, tapi cukup mengobati rindu cemilan dari kampung halaman. Alhamdulillah ‘ala kulli hal.
Bakwan jagung, keroket dan pastel. Serta tangan si kecil yang tak sabar menyicipi, mashaaAllaah.
Mama mertua dan suaminya liburan ke Mesir di awal bulan November, sebelum berangkat mereka ingin bertemu Bilal. Ternyata oh ternyata, Mama ingin memberikan kejutan sebagai early birthday gift; voucher menginap di hotel selama dua malam di Den Haag. Mama dan suaminya juga ikut, jadi kami pergi berlima menggunakan mobil. Sejak beberapa hari sebelumnya, Mama selalu WA bilang kalau beliau excited banget, gak sabar pengen nunjukin Den Haag ke Nabilal. Yaa, beliau seriiing banget ke Den Haag, bahkan dari sebelum suami kenal saya. Karena sepertinya pantai paling dekat dari Dortmund adanya di Scheveningen, tepatnya Den Haag sonoan dikit hehe.
Special thanks to Bilal’s Oma and Opa. <3
Jujur, saya merasa nervous karena perjalanan ini adalah kali pertama Nabilal jalan-jalan rada jauh dan lumayan lama sama Oma dan Opa Bilal, pertama kali Nabilal menginap di hotel di Eropa juga. Saya harus packing dengan baik karena kalau ada yang kurang, pasti dikomplen mertua dan itu gak enak. Ditambah saya harus beberes rumah, rumah harus bersih sebelum ditinggal pergi, dan kami pun akan menerima tamu sehari setelah kami pulang inshaaAllah. Dengan sejumlah tekanan tadi, saya coba menghibur diri dengan mulai rajin browsing lagi rumah makan Indonesia di Den Haag. Sudah lama saya tahu kalau Den Haag adalah surganya makanan khas Indonesia di Belanda, atau mungkin setanah Eropa. Sudah lama juga saya mengidamkan untuk wisata kuliner di Den Haag.
Hari Pertama: Jum’at, 16 November 2018.
Harinya tiba, paginya saya hanya bikin banana shake untuk sarapan Bilal. Saya berusaha untuk keep the home clean, soalnya saya sudah banting tulang berbersih rumah sampai baru tidur jam dua dini hari. Suami tetap kerja dan shalat jum’at di Dortmund dulu, saya dan Bilal berangkat dari rumah setelah shalat dzuhur (dan jamak ashar). Kami bertemu dengan Mama dan suaminya di swalayan dekat masjid dimana suami shalat jum’at. Sekitar pukul dua siang, bismillah, kami berangkat!
Normalnya hanya dua setengah jam dari Dortmund ke Den Haag, tapi sepertinya karena ini Jum’at malam, jalanan ramai dan lumayan macet. Jadilah kami butuh tiga jam untuk sampai di hotel. Saya berusaha tidur terus selama di jalan, menghindari mabok. Inilah kenapa saya lebih suka naik kereta atau pesawat dibanding mobil pribadi atau bus, saya tuh anaknya mabokan huhu. Sudah dekat hotel, ternyata Bilal yang mabok, gumoh banyak banget. Mungkin karena terlalu sering dan terlalu banyak dikasih cemilan. Niatnya sih biar anteng, tapi malah kekenyangan doi huhu emak-babehnya gak peka pula. Tapi alhamdulillah anaknya gak rewel, gak ketauan gumohnya juga, tau-tau udah kotor aja baju dan carseatnya. MashaaAllaah, Bilal baik.
Bilal sedang dipakaikan baju oleh Abahnya. MashaaAllah tabarakallah.
Sampai hotel, saya dan Mama mandikan Bilal, para suami gotong tas-tas bawaan ke kamar. Setelah mandi, Bilal dipakaikan baju oleh Abahnya. Saya beberes barang bawaan, dan foto-foto untuk keperluan artikel ini hihi. Kemudian, kami shalat maghrib dan isya.
Flestcher Hotel, Leidschendam.
Kami mendapat kamar hotel yang cukup luas, bersih, difasilitasi dengan bathtub di kamar mandi dan balkon yang menghadap ke danau. Pemandangannya cantik terutama saat matahari terbenam atau terbit, mashaaAllaah. Mama mertua bilang, kalau mereka kesini saat musim panas, biasanya mereka hanya ke supermarket sebelah untuk belanja cemilan buat piknik dan diam di balkon ini seharian, Menenangkan katanya.
Pemandangan dari koridor kamar hotel, kita bisa lihat suasana sekitar hotel.
Kamar hotel yang kami tempati ketika masih rapi.
View sunrise dari balkon kamar hotel. Aktivitas pagi kota ini sangat menarik dilihat dari sini.
Lanjut ke setelah shalat, kami cari resto Indonesia terdekat untuk makan malam. Ketemu! Namanya Toko Bali, kalau kata gugel letaknya hanya 150m dari hotel atau sekitar lima menit berjalan kaki. Pas mau didatangi, barulah ketahuan kalau kedai Toko Bali ini tadinya persis sebelahan dengan hotel, namun sekarang pindah ke mall baru namanya Fresh. Kelihatannya jadi lebih modern.
Toko Bali, Leidschendam.
Mereka jual beberapa macam bahan makanan kemasan dari Indonesia juga, seperti saos dan sambal.
First impression kami untuk resto ini kurang menyenangkan. Pelayanannya somehow kurang ramah, tapi saya fahamlah kalau mereka pasti sudah lelah karena sudah waktunya mau tutup juga kan. Yang paling kami kurang suka adalah ketika kami mau pesan cemilan, kata mereka “nanti” dan “nanti” sampai akhirnya mereka benahi cemilannya dan kami tak jadi beli. Suami bete banget karena ini. Terus setelah order makanan, suami bilang kalau beliau merasa ada bisikan hati yang kuat yang mengatakan kami harus segera pergi. Tapi yaa masa udah order mau ditinggal? Kan gak mungkin hit and run, macam di online shop aja. Benar, gak lama suami menyampaikan unek-uneknya, ada gangguan listrik yang membuat kedai padam listrik mendadak, sehingga makanan kami pun lama disiapkannya. Drama banget yaa? Untung salah satu karyawannya ada yang menawarkan es cendol, jadi adem hati ini setelah minum es cendol.
Beberapa menit kemudian hidangan tersaji. Saya pesan nasi rames spesial, yakni seporsi nasi hangat, rendang, udang balado dan ayam pedas manis. Sisanya kami pesan Rijstafel untuk tiga orang. Rijstafel merupakan cara penyajian makanan berurutan dengan pilihan hidangan dari berbagai daerah di Nusantara. Ditambah sekaleng cola zero dan sebotol air mineral, kami merogoh kocek 48€ atau sekitar 800rb rupiah malam itu. Harga relatif standard, gak murah dan gak mahal. Rasanya pun oke punya, mashaaAllah alhamdulillah. Makanannya enak, apalagi es cendolnya otentik maknyos.
Nasi rames pesan yang menunya boleh saya pilih sendiri. Semacam di warteg, tinggal tunjuk dari kaca hehe.
Ini rijstaffel-nya. Kelihatannya sedikit ya, padahal aslinya banyak mashaaAllah.
Kebetulan kami memang pelanggan terakhir saat resto seharusnya sudah tutup. Nah, barulah beberapa mbaknya berramah tamah dengan saya. Ngobrol basa-basi sedikit pas di kasir, mereka tanya saya asal mana. Saya jawab asal Bogor, tapi sekarang tinggal di Dortmund. Terus mereka tanya, “Umur kamu berapa?”. Saya reflek bilang “Ini ulang tahun ke-22”, padahal ulang tahunnya masih tiga hari lagi. “Yaa ampun beneran 22? Kita kira masih kecil. Itu anaknya?”, mereka lanjut. “Iya hehe”, jawab saya. “Nikah muda yaa?”, tanya mereka lagi. “Iya, nikah pas umur 19thn”, jawab saya. “Awww!”, mereka kaget dan ini bikin saya ketawa haha. “Itu suaminya umur berapa?”, mereka masih kepo rupanya. “31thn, tapi keliatan seumuran yaa sama saya? Iya emang saya mah tampangnya boros hehe”, saya mulai insecure hoho. “Suaminya emang gak keliatan tua, tapi kamu juga keliatannya kaya anak kecil sih”, sahut mereka. Saya pun jadi malu-malu bahagia atas perbincangan ini. Tuh kan benar, mereka sempat judes karena emang lagi capek aja. Toh begitu selesai pekerjaannya, mereka jadi lebih ramah. Subhanallaah, tuh kan husnudzon itu perlu. MashaaAllaah. Ada sekeranjang kecil berisi salonpas dan minyak gosok dari Indonesia yang mereka jual juga loh. Mau beli minyak tawon tapi gak keburu huhu.
Setelah makan malam, kami lanjut jalan-jalan sebentar sekitar hotel. Bilal terlihat ceria sekali, mashaaAllaah. Kemudian, karena belum terlalu malam, kami memutuskan untuk jajan dulu di Jumbo supermarket persis sebelah hotel. Kami beli beberapa cemilan, dan favorite saya adalah Chitos rasa keju yang gak ada di Dortmund huhu. Ada beberapa macam kerupuk juga disini. Aduh, jadi kalap deh pengen icip tiap variannya. Sudah puas jajan, kami kembali ke hotel untuk istirahat.
Lah dia malah tiduran di emperan toko, untung sepi. Jadi gak malu-maluin amat haha.
Halal section di supermarket dekat hotel. MashaaAllah, saya belum menemukan di Jerman ada yang begini.
Kita bisa ambil mesin pindai (scan) untuk memindai belanjaan kita sendiri, jadi nanti di cashier tinggal bayar aja. Menarik yaa.
Bang bing bung yok kita nabung, tang ting tung yok jangan dihitung, tahu-tahu nanti kita dapat untung.
Terinspirasi dari “Gerakan Penghijauan” atau “Nabung 20rb Rupiah”, yang tiap menemukan uang 20rb (PUNYA SENDIRI LHO YAA HEHE) langsung ditabung, saya sempat coba menerapkan di uang kertas euro; 20€ dan 5€. Gagal, masih terlalu tempting buat dibelanjakan. Nah yang bertahan aman di celengan adalah koin 1€ dan cents.
Sejak dulu di Indo, jujur saja, saya memang gak suka nyimpen/pakai koin. Kalau ada kembalian koin, seringnya gak diambil. Tapi berbeda dengan koin Indo yang receh banget ibaratnya, disini koin 1€ atau 2€ lumayan, bisa buat beli roti. Menabungnya dirasa lebih mudah karena dipakai enggan, sedangkan dibuang sayang. Selain itu, koin 1€ yang paling mendekati nilai 20rb rupiah.
Kalau nabung cents, sebenarnya lebih ke meneruskan habits suami. Awal disini, suami beberapa kali sempat menegur pas liat saya biarkan cents saya jatuh tanpa dipungut lagi. Lalu suami tunjukkan sepeci cents yang beliau berhasil kumpulkan. Beneran tempatnya di peci dong haha. Lalu, besok harinya kami ke atm, menukar receh tersebut. Terkejutlah awak ketika sepeci recehan itu bisa senilai belasan euro, atau ratusan ribu bila dirupiahkan.
Kemudian saya beli dua toples bening untuk menabung koin 1€ dan cents. Jadi, sejak hamil Bilal, tiap dapat kembalian 1€ atau cents, itu jadi hak sy untuk dicelengin. Iya, udah deal kalau ini tabungan saya hehe jadi sesuka saya kapan dan untuk apa digunakan. Awalnya belum tahu mau untuk apa uangnya nanti, nabung aja dulu mana tahu suatu saat dibutuhkan.
Nah, akhir tahun lalu iseng menukarkan celengan 1€ ke atm. Alhamdulillah lumayan, dapet ratusan euro, beberapa juta kalau dirupiahkan. Sempat overwhelming mau dibelanjakan ini-itu, tapi akhirnya milih buat “investasi” saja, yaitu piknik sederhana untuk Nabilal. Kebetulan bulan depan 3rd wedding anniversary kami juga hihi inshaaAllaah. Jumlah celengannya emang gak memenuhi sih, harus dibantu uang saku. Dua bulan ini gak jajan deh huhu. Alhamdulillah tapinya, kemarin saya bisa booking flight dan airbnb pakai hasil tabungan sendiri. MashaaAllaah, bahagianya bukan main. Terharu akutu!
Ini sharing aja ya. Semoga ada manfaatnya, terutama buat buibuk niih hihi. Pengingat diri juga buat tetap semangat menabung, karena setelah ngosongin celengan ya sekarang harus mulai dari nol lagi hehe.