Hari Ketiga: 18 November 2018
Selamat pagi! Pagi ini Bilal, lengkap dengan pakaian unyu-nya, yaitu kostum beruang, membangunkan Oma dan Opa Bilal ke kamarnya. Oma yang buka pintu, masih dengan piyama dan muka bantal, super terkejut lihat Bilal sampai beliau berlinang air mata karena tawa harunya. MashaaAlaah. Mission complished, too bad that we didn’t record it huhu. Setelah itu kami kembali ke kamar, ganti pakaian, bersiap untuk sarapan.
Selesai sarapan, kami mengangkut semua bawaan kembali ke mobil. Lalu kami pergi menuju pantai Scheveningen lagi karena Mama mertua ingin menikmati dan menunjukkan pada saya suasana pantai saat siang hari sebelum akhirnya kami pulang ke Dortmund. MashaaAllaah.
Beelden aan Zee, Tom Otterness: Fairy Tale Sculpture by the Sea
Di pinggiran pantai Scheveningen ada museum, nah ada seniman dari Amerika yang sengaja membuat karya seni berupa patung-patung di area terbuka sekitar pantai. Tujuannya agar bisa dinikmati oleh anak-anak sebagai taman bermain. Dalam tiap ilustrasi pahatannya terdapat makna kehidupan tersendiri.
Salero Minang
Sejak tahun pertama tinggal di Jerman, pun saat hamil, saya sudah mengidam-idamkan makan di restoran Indonesia. Nah dari apa yang saya dapat dari browsing sana-sini, ketemulah info bahwa restoran Indonesia yang paling banyak pilihannya memang di Belanda, tepatnya di Amsterdam dan Den Haag. Kebetulan saya menemukan Salero Minang, rumah makan khas Padang di Den Haag. Jadilah saya seakan mewajibkan diri mampir ke resto ini bila suatu saat main ke Den Haag. Alhamdulillah, Allah kasih rizki tak terduga, diajak Mama mertua ke Den Haag. Maka, tsebelum pulang ke Jerman, saya request makan siang di Salero Minang. Saya ingat betul, saya bilang ke Mama mertua di perjalanan menuju restoran ini, “Banyak orang terkenal, kaya seleb, orang penting, dsb, yang makan di Salero Minang kalau mereka berkunjung ke Belanda lho Maa”. Terus Mama mertua menjawab, “Wah berarti orang keren dong yang makan disana, kita juga kan?”. Hahaha bisa aja.
Begitu tiba di daerah sekitar resto, saya sangat excited, saya kenal betul tikungannya karena beberapa kali melihat gambar yang dibagikan pengunjung resto di instagram. Namun mood saya berubah total begitu melewati restonya saat sedang mencari tempat parkir. Kenapa? RESTONYA TUTUP DONG GEEENGS. Monangis akutu. Dadah rendang, dadah dendeng balado, dadah sambal ijo huhu. Alhamdulillah ala kulli hal, Mama mertua baik banget mau mengambil gambar dari resto yang tutup ini. “Sini aku ambilin gambarnya, biar jadi bukti kalau kita pernah kesini.” :’)
Toko Nusantara
Walaupun resto pertama tutup, masih ada satu resto lagi yang mau saya sambangi selagi di kota tempat Perjanjian Konferensi Meja Bundar dibuat. Yakni, Toko Nusantara yang terkenal dengan bakso dan bubur ayamnya. Gak begitu jauh dari resto sebelumnya, letaknya cukup strategis di tepi jalan besar yang dilewati jalur trem juga. Begitu masuk ke restoran, mashaaAllaah rwame bener! Berhubung ramai, saya pesan untuk take away saja. Bakso beranak tiga, sekilo bakso kecil-kecil, dan seporsi bubur ayam. Totalnya 58€, atau sekitar sejutaan bila dirupiahkan, ini seingat saya yaa. Bapak pemilik resto ini ramah sekali melayani, ramah, senyum terus. Just to let you know, Bapaknya bilang kalau mereka gak jual mentahan begitu. Mereka kasih jual mentahan ke saya karena saya bilang di awal kalau kami datang dari Jerman. Mantapnya lagi, mereka gak terima kartu kredit loh! MashaaAllah tabarakallah.
Al Madinah Moskee
Arabic Resto
No Comments