Hari Kedua: Sabtu, 17 November 2018
Setelah ganti baju, kami turun ke restaurant hotel untuk sarapan. Flestcher Hotel Leidschendam, hotel yang kami tempati ini memiliki menu breakfast yang segar, satu-satunya yang non-halal yaa bacon babi tapi itupun terpisah. Cari aman aja, ambil sarapan dari menu khusus salad segar dengan variasi yoghurt, aneka sereal, roti-rotian, telur rebus, omelette, segitu udah enak alhamdulillah. Ada buah segar juga. Minumnya ada jus, teh, kopi, bebas pilih sesukanya. Tips juga nih, kalau lagi liburan ke negara non-muslim, sarapan di hotelnya ambil yang kering-kering aja. InshaaAllah aman, jelas kehalalannya.
Setelah sarapan, Mama mertua mau belanja di pusat perbelanjaan seberang hotel. Disana ada toko-toko pakaian semacam H&M atau C&A, juga tokjo serba ada Hema, dsb. Ketika sedang lihat-lihat sambil menemani Mama mertua belanja di toko perhiasan, saya menemukan tas seperti yang sudah lama saya idamkan lagi diskon 70%. Saya langsung ambil, eh pas di cashier malah keduluan Mama mertua yang bayarin. Beliau juga suka tasnya, ‘Nabila banget’ katanya. So, I got another birthday gift! Alhamdulillahiladzi bini’matihi tatimmussalihat. Thank you sooo much Mama. Love you more.
Scheveningen Harbour
Qadarullah Opanya Bilal sakit, jadi beliau memilih untuk istirahat di hotel saja. Sementara kami pergi jalan-jalan. Awalnya kami belum tahu mau kemana, eh tau-tau sampai ke pelabuhan. Yaudah turun sebentar untuk foto-foto, meninggalkan Bilal yang lagi tidur di carseat.
Simonis Restaurant
Udaranya dingin, perut sudah mulai lapar lagi. Pas masuk jam makan siang, jadi kami melipir ke Simonis Restaurant yang dekat pelabuhan. Resto ini terkenal dengan fresh seafoodnya, punya cabang banyak, salah satunya saya pernah lihat ada juga di pantai Scheveningen. Parkirnya tersedia khusus di depan restoran persis, luas dan gratis. Ketika masuk restoran, kita akan langsung disambut dengan suasana ala kapal, lengkap dengan beberapa aquarium berisi ikan dan lobster segar. Begitu lihat daftar menunya… hmm relatif mahal yaa.
China Town
Ternyata The Hague juga punya satu area yang penuh dengan nuansa Chinese. Kami tak sengaja menemukannya ketika sedang mencari masjid untuk shalat dzuhur dan ashar (dijamak). Dari foto di bawah, kelihatankah lampion dan gapura yang khas Chinese?
Masjidil Aksa Camii
Masjidnya terletak strategfis persis di pinggir jalan, namun agak sulit atau bahkan tak memungkinkan untuk parkir kendaraan sekitar masjid. Halaman masjid cukup luas, bangunan terlihat berwibawa dari luar. Namun sayang seribu sayang, saya mendapati pengalaman buruk di toiletnya yang kurang terjaga kebersihannya. Gelap, dan air menggenang di sekitar toilet. Gamis saya menyentuh genangan yang mungkin saja najis, maka saya pun membatalkan niat untuk shalat di masjid tersebut. Sungguh menyedihkan. Semoga kondisinya sudah jauh membaik saat ini. Lantas saya memilih untuk kembali ke hotel, berganti pakaian dan shalat di kamar hotel saja. Mengubah rencana kami semua, untung Mama mertua sangat pengertian alhamdulillah. Sisi baiknya, kami bisa menjemput Opanya Bilal untuk ikut ke pantai bersama kami.
Scheveningen Beach
Persis di depan pantai, ada bangunan megah bernama The Kurhaus of Scheveningen. Bangunan yang dibangun dengan arsitektur Jerman pada abad ke-18 ini adalah tempat pertemuan sekaligus hotel para konglomerat pada zamannya. Sebut saja group band legendaris Rolling Stone pernah manggung disini sekitar tahun 60-an. Kini sudah terdaftar sebagai salah satu bangunan bersejarah dan dibuka untuk umum. Oiya, saya dan mama mertua ikut masuk karena bebas, jadi yaa sekedar numpang lewat untuk sekilas lihat-lihat. Ada group yang pakai tour guide. Disana saya lihat hall atau ruang pertemuan yang sangat luas dan artsy, bagaimana tidak, hampir sekeliling langit-langitnya diselimuti oleh lukisan jadul yang mewah dan ternyata pelukisnya didatangkan langsung dari Belgia. Btw, lukisannya sangat vulgar yaa, jadi gak saya share disini. Gak lolos sensor soalnya hehe.
Schveningen Pier, dermaga yang awalnya dibangun pada awal abad ke-19. Kemudian tahun 90-an dibeli oleh pihak swasta untuk dijadikan restoran dan kasino. Dua dekade berlalu, terjadi kebakaran yang mengakibatkan perusahan tersebut bangkrut. Pemerintah kota menutupnya di awal tahun 2013 karena kondisi bangunan yang tak memadai. Lalu, akhir tahun berikutnya bangunan di dermaga ini dibeli lagi oleh pihak swasta lainnya, dengan rencana renovasi dan membangun beberapa fitur baru. Barulah pada pertengahan tahun 2015 restaurant dan bazaar di dermaga Scheveningen ini kembali dibuka untuk umum, walaupun jumlah pengunjung dibatasi sebanyak 800 orang karena faktor keamanan, Di depan dermaga juga terdapat Bunge Jumping dan Bianglala sekarang.
Setelah berkeliling dermaga, menemani Bilal menngeksplor sekitar, Mama mertua dan suami makan malam di restoran dalam mall sekitar pantai. Kami bertiga hanya diam saja sekitar hotel, saya mabok angin pantai soalnya huhu. Begitu Oma dan Opanya Bilal selesai, kami pun bergegas kembali ke hotel untuk istirahat.
Toko Deli
Saya tak sengaja menemukan Toko Deli di perjalanan dari pantai ke parkiran, tentu saya sempatkan mampir. Kalau dari gugel sih katanya restoran yaa, tapi menurut saya sih lebih kaya kedai kecil gitu bersebelahan dengan asian minimarket. Gak lihat ada yang dine in, para pembeli malam itu (termasuk saya) memilih untuk take away. Saya rada kabita sama makanan Indonesia yang tersedia di etalase, seperti rendang dan kawan-kawannya. Tapi mikir lagi, ah engga ah, sudah malam. Besok juga inshaaAllah rencananya mau makan di resto Indonesia. So, kami hanya beli sedikit cemilan, hitung-hitung balas dendam karena kemarin tak jadi jajan cemilan khas Indonesia hehe. Jadi, sistemnya tuh mereka sedia makanan dan cemilan nusantara yang sepertinya diambil dari produsen yang sama, terus dihangatkan begitu ada yang beli. Not fresh indeed, tapi cukup mengobati rindu cemilan dari kampung halaman. Alhamdulillah ‘ala kulli hal.
Bersambung…
No Comments