Selamat pagi! Pagi ini Bilal, lengkap dengan pakaian unyu-nya, yaitu kostum beruang, membangunkan Oma dan Opa Bilal ke kamarnya. Oma yang buka pintu, masih dengan piyama dan muka bantal, super terkejut lihat Bilal sampai beliau berlinang air mata karena tawa harunya. MashaaAlaah. Mission complished, too bad that we didn’t record it huhu. Setelah itu kami kembali ke kamar, ganti pakaian, bersiap untuk sarapan.
Abis sarapan, Bilal peluk Oma erat banget. MashaaAllaah.
Selesai sarapan, kami mengangkut semua bawaan kembali ke mobil. Lalu kami pergi menuju pantai Scheveningen lagi karena Mama mertua ingin menikmati dan menunjukkan pada saya suasana pantai saat siang hari sebelum akhirnya kami pulang ke Dortmund. MashaaAllaah.
Jelas banget kayanya kalau Bilal terpaksa foto bareng Abahnya haha mashaaAllah
Beelden aan Zee, Tom Otterness: Fairy Tale Sculpture by the Sea
Di pinggiran pantai Scheveningen ada museum, nah ada seniman dari Amerika yang sengaja membuat karya seni berupa patung-patung di area terbuka sekitar pantai. Tujuannya agar bisa dinikmati oleh anak-anak sebagai taman bermain. Dalam tiap ilustrasi pahatannya terdapat makna kehidupan tersendiri.
Ada yang bisa menemukan kami dalam gambar yang diambil oleh suami saya ini?
Salero Minang
Sejak tahun pertama tinggal di Jerman, pun saat hamil, saya sudah mengidam-idamkan makan di restoran Indonesia. Nah dari apa yang saya dapat dari browsing sana-sini, ketemulah info bahwa restoran Indonesia yang paling banyak pilihannya memang di Belanda, tepatnya di Amsterdam dan Den Haag. Kebetulan saya menemukan Salero Minang, rumah makan khas Padang di Den Haag. Jadilah saya seakan mewajibkan diri mampir ke resto ini bila suatu saat main ke Den Haag. Alhamdulillah, Allah kasih rizki tak terduga, diajak Mama mertua ke Den Haag. Maka, tsebelum pulang ke Jerman, saya request makan siang di Salero Minang. Saya ingat betul, saya bilang ke Mama mertua di perjalanan menuju restoran ini, “Banyak orang terkenal, kaya seleb, orang penting, dsb, yang makan di Salero Minang kalau mereka berkunjung ke Belanda lho Maa”. Terus Mama mertua menjawab, “Wah berarti orang keren dong yang makan disana, kita juga kan?”. Hahaha bisa aja.
Begitu tiba di daerah sekitar resto, saya sangat excited, saya kenal betul tikungannya karena beberapa kali melihat gambar yang dibagikan pengunjung resto di instagram. Namun mood saya berubah total begitu melewati restonya saat sedang mencari tempat parkir. Kenapa? RESTONYA TUTUP DONG GEEENGS. Monangis akutu. Dadah rendang, dadah dendeng balado, dadah sambal ijo huhu. Alhamdulillah ala kulli hal, Mama mertua baik banget mau mengambil gambar dari resto yang tutup ini. “Sini aku ambilin gambarnya, biar jadi bukti kalau kita pernah kesini.” :’)
Toko Nusantara
Walaupun resto pertama tutup, masih ada satu resto lagi yang mau saya sambangi selagi di kota tempat Perjanjian Konferensi Meja Bundar dibuat. Yakni, Toko Nusantara yang terkenal dengan bakso dan bubur ayamnya. Gak begitu jauh dari resto sebelumnya, letaknya cukup strategis di tepi jalan besar yang dilewati jalur trem juga. Begitu masuk ke restoran, mashaaAllaah rwame bener! Berhubung ramai, saya pesan untuk take away saja. Bakso beranak tiga, sekilo bakso kecil-kecil, dan seporsi bubur ayam. Totalnya 58€, atau sekitar sejutaan bila dirupiahkan, ini seingat saya yaa. Bapak pemilik resto ini ramah sekali melayani, ramah, senyum terus. Just to let you know, Bapaknya bilang kalau mereka gak jual mentahan begitu. Mereka kasih jual mentahan ke saya karena saya bilang di awal kalau kami datang dari Jerman. Mantapnya lagi, mereka gak terima kartu kredit loh! MashaaAllah tabarakallah.
Hasil perburuan di Den Haag. MashaaAllah, terima kasih Ar-Razzaq.
Cuma kurang sambel aja nih. Alhamdulillah, tombo kangen. Bisa sarapan bubur ayam tiap pagi, I wish.
Setelah ganti baju, kami turun ke restaurant hotel untuk sarapan. Flestcher Hotel Leidschendam, hotel yang kami tempati ini memiliki menu breakfast yang segar, satu-satunya yang non-halal yaa bacon babi tapi itupun terpisah. Cari aman aja, ambil sarapan dari menu khusus salad segar dengan variasi yoghurt, aneka sereal, roti-rotian, telur rebus, omelette, segitu udah enak alhamdulillah. Ada buah segar juga. Minumnya ada jus, teh, kopi, bebas pilih sesukanya. Tips juga nih, kalau lagi liburan ke negara non-muslim, sarapan di hotelnya ambil yang kering-kering aja. InshaaAllah aman, jelas kehalalannya.
Menuju ke resto hotel, kami melewati lobby hotel. Pintu masuk restonya persis di sebelah kiri.
Ada infused water gratis di sebelah receiptionist, boleh dinikmati sepuasnya.
Sarapan bareng Oma. MashaaAllah tabarakallah.
Setelah sarapan, Mama mertua mau belanja di pusat perbelanjaan seberang hotel. Disana ada toko-toko pakaian semacam H&M atau C&A, juga tokjo serba ada Hema, dsb. Ketika sedang lihat-lihat sambil menemani Mama mertua belanja di toko perhiasan, saya menemukan tas seperti yang sudah lama saya idamkan lagi diskon 70%. Saya langsung ambil, eh pas di cashier malah keduluan Mama mertua yang bayarin. Beliau juga suka tasnya, ‘Nabila banget’ katanya. So, I got another birthday gift! Alhamdulillahiladzi bini’matihi tatimmussalihat. Thank you sooo much Mama. Love you more.
Tasnya langsung dipakai dong hihi mashaaAllaah. Cocok gak? ^^
Kalau begini, Bilal mirip sama Abahnya yaa hehe mashaaAllah tabarakallah. Lagi main mahkota-mahkotaan yang Opanya ambil free dari HEMA.
Scheveningen Harbour
Qadarullah Opanya Bilal sakit, jadi beliau memilih untuk istirahat di hotel saja. Sementara kami pergi jalan-jalan. Awalnya kami belum tahu mau kemana, eh tau-tau sampai ke pelabuhan. Yaudah turun sebentar untuk foto-foto, meninggalkan Bilal yang lagi tidur di carseat.
Suasana pagi menjelang siang di pelabuhan Scheveningen. Cuma sebentar banget disini karena dingin dan sedang ramai oleh festival.
Simonis Restaurant
Udaranya dingin, perut sudah mulai lapar lagi. Pas masuk jam makan siang, jadi kami melipir ke Simonis Restaurant yang dekat pelabuhan. Resto ini terkenal dengan fresh seafoodnya, punya cabang banyak, salah satunya saya pernah lihat ada juga di pantai Scheveningen. Parkirnya tersedia khusus di depan restoran persis, luas dan gratis. Ketika masuk restoran, kita akan langsung disambut dengan suasana ala kapal, lengkap dengan beberapa aquarium berisi ikan dan lobster segar. Begitu lihat daftar menunya… hmm relatif mahal yaa.
Simonis’ menu ala carte.
Sok ide pengen nyobain fresh oyster tanpa diolah, saucenya dikasih lemon juice, cuka dan bawang. Not my taste, tetap amis huhu.
Shrimps in garlic oil pesanan Mama mertua.
Lobster saya, pesan yang separo aja hehe. Dilapisi keju yang meleleh, lezatnya mashaaAllaah. Karena pengalaman beberapa kali mendapati lobster yang dagingnya susah diambil, agak pahit atau sepet, dan amis di resto di Dortmund. Tapi yang ini sih hamdalah mantap gan! ^^
Salmon panggang punya Abahnya Bilal. Lumayan bisa buat sharing sama Bilal hehe
Salad di menu yang diambil Abahnya Bilal ternyata basi, jadi beliau komplain dan dapat ganti porsi salad yang segar dan lebih besar. Alhamdulillah.
China Town
Ternyata The Hague juga punya satu area yang penuh dengan nuansa Chinese. Kami tak sengaja menemukannya ketika sedang mencari masjid untuk shalat dzuhur dan ashar (dijamak). Dari foto di bawah, kelihatankah lampion dan gapura yang khas Chinese?
Masjidil Aksa Camii
Masjidnya terletak strategfis persis di pinggir jalan, namun agak sulit atau bahkan tak memungkinkan untuk parkir kendaraan sekitar masjid. Halaman masjid cukup luas, bangunan terlihat berwibawa dari luar. Namun sayang seribu sayang, saya mendapati pengalaman buruk di toiletnya yang kurang terjaga kebersihannya. Gelap, dan air menggenang di sekitar toilet. Gamis saya menyentuh genangan yang mungkin saja najis, maka saya pun membatalkan niat untuk shalat di masjid tersebut. Sungguh menyedihkan. Semoga kondisinya sudah jauh membaik saat ini. Lantas saya memilih untuk kembali ke hotel, berganti pakaian dan shalat di kamar hotel saja. Mengubah rencana kami semua, untung Mama mertua sangat pengertian alhamdulillah. Sisi baiknya, kami bisa menjemput Opanya Bilal untuk ikut ke pantai bersama kami.
Scheveningen Beach
The Kurhaus of Scheveningen bersama jejeran tenda-tenda cafe dan restoran di depannya.
Penampakan The Kurhaus dari dekat saat siang hari.
Persis di depan pantai, ada bangunan megah bernama The Kurhaus of Scheveningen. Bangunan yang dibangun dengan arsitektur Jerman pada abad ke-18 ini adalah tempat pertemuan sekaligus hotel para konglomerat pada zamannya. Sebut saja group band legendaris Rolling Stone pernah manggung disini sekitar tahun 60-an. Kini sudah terdaftar sebagai salah satu bangunan bersejarah dan dibuka untuk umum. Oiya, saya dan mama mertua ikut masuk karena bebas, jadi yaa sekedar numpang lewat untuk sekilas lihat-lihat. Ada group yang pakai tour guide. Disana saya lihat hall atau ruang pertemuan yang sangat luas dan artsy, bagaimana tidak, hampir sekeliling langit-langitnya diselimuti oleh lukisan jadul yang mewah dan ternyata pelukisnya didatangkan langsung dari Belgia. Btw, lukisannya sangat vulgar yaa, jadi gak saya share disini. Gak lolos sensor soalnya hehe.
Schveningen Pier, dermaga yang awalnya dibangun pada awal abad ke-19. Kemudian tahun 90-an dibeli oleh pihak swasta untuk dijadikan restoran dan kasino. Dua dekade berlalu, terjadi kebakaran yang mengakibatkan perusahan tersebut bangkrut. Pemerintah kota menutupnya di awal tahun 2013 karena kondisi bangunan yang tak memadai. Lalu, akhir tahun berikutnya bangunan di dermaga ini dibeli lagi oleh pihak swasta lainnya, dengan rencana renovasi dan membangun beberapa fitur baru. Barulah pada pertengahan tahun 2015 restaurant dan bazaar di dermaga Scheveningen ini kembali dibuka untuk umum, walaupun jumlah pengunjung dibatasi sebanyak 800 orang karena faktor keamanan, Di depan dermaga juga terdapat Bunge Jumping dan Bianglala sekarang.
Bianglala dan bulan purnama dalam satu gambar.
Setelah berkeliling dermaga, menemani Bilal menngeksplor sekitar, Mama mertua dan suami makan malam di restoran dalam mall sekitar pantai. Kami bertiga hanya diam saja sekitar hotel, saya mabok angin pantai soalnya huhu. Begitu Oma dan Opanya Bilal selesai, kami pun bergegas kembali ke hotel untuk istirahat.
Kegiatan terakhir di dermaga, Bilal pura-pura main mobil balap. Iya, pura-pura, karena kebetulan kami gak ada yang mengantongi receh hehe. Bilal sempat main piano juga lho, adanya video sih huhu.
Toko Deli
Saya tak sengaja menemukan Toko Deli di perjalanan dari pantai ke parkiran, tentu saya sempatkan mampir. Kalau dari gugel sih katanya restoran yaa, tapi menurut saya sih lebih kaya kedai kecil gitu bersebelahan dengan asian minimarket. Gak lihat ada yang dine in, para pembeli malam itu (termasuk saya) memilih untuk take away. Saya rada kabita sama makanan Indonesia yang tersedia di etalase, seperti rendang dan kawan-kawannya. Tapi mikir lagi, ah engga ah, sudah malam. Besok juga inshaaAllah rencananya mau makan di resto Indonesia. So, kami hanya beli sedikit cemilan, hitung-hitung balas dendam karena kemarin tak jadi jajan cemilan khas Indonesia hehe. Jadi, sistemnya tuh mereka sedia makanan dan cemilan nusantara yang sepertinya diambil dari produsen yang sama, terus dihangatkan begitu ada yang beli. Not fresh indeed, tapi cukup mengobati rindu cemilan dari kampung halaman. Alhamdulillah ‘ala kulli hal.
Bakwan jagung, keroket dan pastel. Serta tangan si kecil yang tak sabar menyicipi, mashaaAllaah.
Mama mertua dan suaminya liburan ke Mesir di awal bulan November, sebelum berangkat mereka ingin bertemu Bilal. Ternyata oh ternyata, Mama ingin memberikan kejutan sebagai early birthday gift; voucher menginap di hotel selama dua malam di Den Haag. Mama dan suaminya juga ikut, jadi kami pergi berlima menggunakan mobil. Sejak beberapa hari sebelumnya, Mama selalu WA bilang kalau beliau excited banget, gak sabar pengen nunjukin Den Haag ke Nabilal. Yaa, beliau seriiing banget ke Den Haag, bahkan dari sebelum suami kenal saya. Karena sepertinya pantai paling dekat dari Dortmund adanya di Scheveningen, tepatnya Den Haag sonoan dikit hehe.
Special thanks to Bilal’s Oma and Opa. <3
Jujur, saya merasa nervous karena perjalanan ini adalah kali pertama Nabilal jalan-jalan rada jauh dan lumayan lama sama Oma dan Opa Bilal, pertama kali Nabilal menginap di hotel di Eropa juga. Saya harus packing dengan baik karena kalau ada yang kurang, pasti dikomplen mertua dan itu gak enak. Ditambah saya harus beberes rumah, rumah harus bersih sebelum ditinggal pergi, dan kami pun akan menerima tamu sehari setelah kami pulang inshaaAllah. Dengan sejumlah tekanan tadi, saya coba menghibur diri dengan mulai rajin browsing lagi rumah makan Indonesia di Den Haag. Sudah lama saya tahu kalau Den Haag adalah surganya makanan khas Indonesia di Belanda, atau mungkin setanah Eropa. Sudah lama juga saya mengidamkan untuk wisata kuliner di Den Haag.
Hari Pertama: Jum’at, 16 November 2018.
Harinya tiba, paginya saya hanya bikin banana shake untuk sarapan Bilal. Saya berusaha untuk keep the home clean, soalnya saya sudah banting tulang berbersih rumah sampai baru tidur jam dua dini hari. Suami tetap kerja dan shalat jum’at di Dortmund dulu, saya dan Bilal berangkat dari rumah setelah shalat dzuhur (dan jamak ashar). Kami bertemu dengan Mama dan suaminya di swalayan dekat masjid dimana suami shalat jum’at. Sekitar pukul dua siang, bismillah, kami berangkat!
Normalnya hanya dua setengah jam dari Dortmund ke Den Haag, tapi sepertinya karena ini Jum’at malam, jalanan ramai dan lumayan macet. Jadilah kami butuh tiga jam untuk sampai di hotel. Saya berusaha tidur terus selama di jalan, menghindari mabok. Inilah kenapa saya lebih suka naik kereta atau pesawat dibanding mobil pribadi atau bus, saya tuh anaknya mabokan huhu. Sudah dekat hotel, ternyata Bilal yang mabok, gumoh banyak banget. Mungkin karena terlalu sering dan terlalu banyak dikasih cemilan. Niatnya sih biar anteng, tapi malah kekenyangan doi huhu emak-babehnya gak peka pula. Tapi alhamdulillah anaknya gak rewel, gak ketauan gumohnya juga, tau-tau udah kotor aja baju dan carseatnya. MashaaAllaah, Bilal baik.
Bilal sedang dipakaikan baju oleh Abahnya. MashaaAllah tabarakallah.
Sampai hotel, saya dan Mama mandikan Bilal, para suami gotong tas-tas bawaan ke kamar. Setelah mandi, Bilal dipakaikan baju oleh Abahnya. Saya beberes barang bawaan, dan foto-foto untuk keperluan artikel ini hihi. Kemudian, kami shalat maghrib dan isya.
Flestcher Hotel, Leidschendam.
Kami mendapat kamar hotel yang cukup luas, bersih, difasilitasi dengan bathtub di kamar mandi dan balkon yang menghadap ke danau. Pemandangannya cantik terutama saat matahari terbenam atau terbit, mashaaAllaah. Mama mertua bilang, kalau mereka kesini saat musim panas, biasanya mereka hanya ke supermarket sebelah untuk belanja cemilan buat piknik dan diam di balkon ini seharian, Menenangkan katanya.
Pemandangan dari koridor kamar hotel, kita bisa lihat suasana sekitar hotel.
Kamar hotel yang kami tempati ketika masih rapi.
View sunrise dari balkon kamar hotel. Aktivitas pagi kota ini sangat menarik dilihat dari sini.
Lanjut ke setelah shalat, kami cari resto Indonesia terdekat untuk makan malam. Ketemu! Namanya Toko Bali, kalau kata gugel letaknya hanya 150m dari hotel atau sekitar lima menit berjalan kaki. Pas mau didatangi, barulah ketahuan kalau kedai Toko Bali ini tadinya persis sebelahan dengan hotel, namun sekarang pindah ke mall baru namanya Fresh. Kelihatannya jadi lebih modern.
Toko Bali, Leidschendam.
Mereka jual beberapa macam bahan makanan kemasan dari Indonesia juga, seperti saos dan sambal.
First impression kami untuk resto ini kurang menyenangkan. Pelayanannya somehow kurang ramah, tapi saya fahamlah kalau mereka pasti sudah lelah karena sudah waktunya mau tutup juga kan. Yang paling kami kurang suka adalah ketika kami mau pesan cemilan, kata mereka “nanti” dan “nanti” sampai akhirnya mereka benahi cemilannya dan kami tak jadi beli. Suami bete banget karena ini. Terus setelah order makanan, suami bilang kalau beliau merasa ada bisikan hati yang kuat yang mengatakan kami harus segera pergi. Tapi yaa masa udah order mau ditinggal? Kan gak mungkin hit and run, macam di online shop aja. Benar, gak lama suami menyampaikan unek-uneknya, ada gangguan listrik yang membuat kedai padam listrik mendadak, sehingga makanan kami pun lama disiapkannya. Drama banget yaa? Untung salah satu karyawannya ada yang menawarkan es cendol, jadi adem hati ini setelah minum es cendol.
Beberapa menit kemudian hidangan tersaji. Saya pesan nasi rames spesial, yakni seporsi nasi hangat, rendang, udang balado dan ayam pedas manis. Sisanya kami pesan Rijstafel untuk tiga orang. Rijstafel merupakan cara penyajian makanan berurutan dengan pilihan hidangan dari berbagai daerah di Nusantara. Ditambah sekaleng cola zero dan sebotol air mineral, kami merogoh kocek 48€ atau sekitar 800rb rupiah malam itu. Harga relatif standard, gak murah dan gak mahal. Rasanya pun oke punya, mashaaAllah alhamdulillah. Makanannya enak, apalagi es cendolnya otentik maknyos.
Nasi rames pesan yang menunya boleh saya pilih sendiri. Semacam di warteg, tinggal tunjuk dari kaca hehe.
Ini rijstaffel-nya. Kelihatannya sedikit ya, padahal aslinya banyak mashaaAllah.
Kebetulan kami memang pelanggan terakhir saat resto seharusnya sudah tutup. Nah, barulah beberapa mbaknya berramah tamah dengan saya. Ngobrol basa-basi sedikit pas di kasir, mereka tanya saya asal mana. Saya jawab asal Bogor, tapi sekarang tinggal di Dortmund. Terus mereka tanya, “Umur kamu berapa?”. Saya reflek bilang “Ini ulang tahun ke-22”, padahal ulang tahunnya masih tiga hari lagi. “Yaa ampun beneran 22? Kita kira masih kecil. Itu anaknya?”, mereka lanjut. “Iya hehe”, jawab saya. “Nikah muda yaa?”, tanya mereka lagi. “Iya, nikah pas umur 19thn”, jawab saya. “Awww!”, mereka kaget dan ini bikin saya ketawa haha. “Itu suaminya umur berapa?”, mereka masih kepo rupanya. “31thn, tapi keliatan seumuran yaa sama saya? Iya emang saya mah tampangnya boros hehe”, saya mulai insecure hoho. “Suaminya emang gak keliatan tua, tapi kamu juga keliatannya kaya anak kecil sih”, sahut mereka. Saya pun jadi malu-malu bahagia atas perbincangan ini. Tuh kan benar, mereka sempat judes karena emang lagi capek aja. Toh begitu selesai pekerjaannya, mereka jadi lebih ramah. Subhanallaah, tuh kan husnudzon itu perlu. MashaaAllaah. Ada sekeranjang kecil berisi salonpas dan minyak gosok dari Indonesia yang mereka jual juga loh. Mau beli minyak tawon tapi gak keburu huhu.
Setelah makan malam, kami lanjut jalan-jalan sebentar sekitar hotel. Bilal terlihat ceria sekali, mashaaAllaah. Kemudian, karena belum terlalu malam, kami memutuskan untuk jajan dulu di Jumbo supermarket persis sebelah hotel. Kami beli beberapa cemilan, dan favorite saya adalah Chitos rasa keju yang gak ada di Dortmund huhu. Ada beberapa macam kerupuk juga disini. Aduh, jadi kalap deh pengen icip tiap variannya. Sudah puas jajan, kami kembali ke hotel untuk istirahat.
Lah dia malah tiduran di emperan toko, untung sepi. Jadi gak malu-maluin amat haha.
Halal section di supermarket dekat hotel. MashaaAllah, saya belum menemukan di Jerman ada yang begini.
Kita bisa ambil mesin pindai (scan) untuk memindai belanjaan kita sendiri, jadi nanti di cashier tinggal bayar aja. Menarik yaa.
Luxembourg menjadi destinasi terakhir dalam rangkaian perjalanan Benelux ini. Berbeda dengan perjalanan sebelumnya ke Amsterdam, Belanda yang mendebarkan sebagai debut pengalaman traveling keluarga kami. Berbeda pula dengan perjalanan kami ke Brüssels, Belgia yang menggairahkan dengan itinerary yahud yang telah matang disiapkan. Awalnya justru saya agak underestimated destinasi yang satu ini. Negara kecil, tak menarik sama sekali. Maka saya research lebih jauh mengenai Luxembourg, dan saya menemukan beberapa fakta menarik dari Luxembourg, yang diantaranya adalah Luxembourg sebagai salah satu negara terkecil di Eropa. Negara ini lokasinya berbatasan dengan tiga negara eropa lainnya, yakni Prancis, Jerman dan Belgia. Tapi tak berbatasan dengan laut sama sekali. Menariknya, penduduknya yang hanya separuh dari jumlah penduduk kota Bogor ini sebagian besar (lebih dari 50% menurut survey) adalah pendatang, bukan warga asli Luxembourg. Kenapa? Karena seperti yang dilansir majalah Global Finance, Luxembourg dinobatkan sebagai negara terkaya kedua di dunia setelah Qatar. Ini membuat Luxembourg memiliki PDB per kapita tertinggi di dunia dengan tingkat pengangguran 4,4% dari seluruh angkatan kerja pada Juli 2005. Ini disebabkan oleh ekonomi stabil, pajak dan inflasi yang relatif rendah pula. Sektor jasa, khususnya perbankan, menyumbangkan proporsi yang bertumbuh dari ekonomi. Kalau kata suami sih orang bisa dengan mudah bikin bank baru, pemerintah tak mempersulit regulasinya. Maka dengan beberapa hal menjanjikan tadi, tak heran kalau Luxembourg menjadi tujuan orang-orang dari berbagai penjuru dunia untuk berbondong-bondong mengadu nasib. Wong, perusahaan besar macam Skype dan Amazon aja original headquarters atau kantor pusatnya disini. Yaudah, daripada intronya makin panjang, lebih baik kita langsung to the point aja yaa hehe.
LUX for Luxembourg
Luxembourg, 29 September 2018.
Awalnya kami merencanakan Luxembourg Trip ini pada bulan Oktober, biar hemat juga satu bulan satu negara. Demi mengejar musim panas yang hampir berakhir, hawa dingin pun sudah mulai dirasa, maka kami memutuskan untuk melakukan perjalanan terakhir dalam rangkaian Benelux Trip secepatnya. Lagipula setelah dicek, berangkat lebih awal atau nanti pun harga tiketnya sama saja, sekitar 140€ atau Rp 2,3jt menurut kurs saat ini untuk pulang-pergi bertiga. Kami menggunakan kereta Deutsche Bahn dengan dua transit, di Koblenz dan Trier. Namun jenis kereta DB ICE yang kami gunakan dari Dortmund ke Koblenz merupakan kereta yang lebih besar dari kereta cepat Jerman yang biasa kami gunakan. Baru dari Koblenz ke Luxembourg sama-sama pakai yang jenis RE. Kebetulan saat pulangnya kami hanya dua kali transit, tak lagi transit di Trier.
Karena bisa duduk di stroller, seperti menggunakan carseat saja, Bilal bisa tidur selama perjalanan dari Dortmund ke Trier. Saya pun ikut tertidur dan terbangun menjelang transit di Koblenz. Ketika terbangun saat hampir sampai Koblenz, kereta melintasi pesisir sungai Rhine yang mashaaAllah cantik sekali, walaupun saat itu sedang diselumuti kabut yang sangat tebal. Tak ada fotonya yang dapat dibagikan karena memang sulit untuk mengabadikan momen tersebut, jadilah foto-fotonya blur.
Kami melewati kota Cochem di perjalanan dari Koblenz ke Trier. Kota Cochem adalah ibukota distrik terkecil kedua di Jerman yang ekonominya bertumpu pada industri wine dan pariwisata. Memang sih, terlihat dari kereta pun banyak banget bar, juga hotel-hotel atau penginapan gitu. Yaiyalah, wong kotanya secantik itu beiiib mashaaAllah. Jujur yaa, saya itu ingin sekali berlibur ke Swiss karena keindahan alamnya yang terkenal super menakjubkan. Nah, Cochem ini, kalau saya boleh bilang, tipikal pemandangannya sebalas-duabelas mirip sama yang saya lihat (walaupun baru dari layar aja sih hehe) sama pemandangan di Swiss. Saya sampai menitikkan air mata, amazed. Ini segini baru di dunia loh, bagaimana surga? MashaaAllah. Tersedu seketika karena dua hal; bersyukur dan berharap. Sangat bersyukur Allah kasih rizki berupa kesempatan untuk traveling atau tadabbur alam bersama keluarga dan menikmati keindahan ciptaan-Nya, bersyukur karena melihat Cochem yang elok merupakan kejutan-Nya yang tak terduga di perjalanan kali ini. Berharap Ayah, Ibu, adik-adik dan para sahabat juga bisa ikut melihat keagungan Allah atas keindahan alam ini. Lalu itu semua terkumpul dalam do’a, semoga Allah kumpulkan kita semua di Jannah, menikmati keindahan terbaik yang telah dijanjikan oleh-Nya, selamanya. Aamiin.
Sebenarnya dari Koblenz ada dua jalur kereta dari dan menuju Luxembourg. Ada yang transit dulu di Trier sebagaimana yang kami lalui ketika menuju Luxembourg, dan ada juga yang direct atau langsung tanpa transit seperti perjalanan pulang kami. Keduanya tak memiliki perbedaan lama perjalanan yang signifikan sih. Bedanya cuma harus transit dulu, atau direct. Tentu lebih praktis yang direct, terutama untuk perjalanan pulang setelah lelah seharian.
Setelah melewati perjalanan darat selama kurang lebih lima jam, kami pun tiba di Luxembourg. Stasiun Luxembourg sepertinya tak sebesar stasiun-stasiun sentral di Amsterdam atau Belgia, atau terkesan begitu hanya karena sedang dilakukan renovasi saja? Secara umum, Stasiun Luxembourg tertata rapi, bersih, dan sudah mulai terlihat kalau Luxembourg ini artsy.
Ada sedikit cerita nih. Jadi, begitu tiba di stasiun, Abahnya Bilal langsung melipir ke toilet di stasiun. Otomatis saya harus menunggu bersama Bilal, sambil menjaga stroller dan barang bawaan kami. Kebetulan saat itu Bilal rewel, gemas mau jalan, gak mau diam di stroller. Tapi giliran dilepas, malah lari. Karena serba salah, saya gendonglah Bilal. Eh, Bilal ngamuk sampai teriak-teriak. Mana kami posisinya di tengah stasiun, jadilah semua mata risih tertuju pada kami. Entah perasaan saya saja, atau memang orang-orang yang saya temui saat itu tidak ramah. Kesabaran saya diuji. Di kondisi seperti ini saya latih diri untuk tenang dan bersikap bodo amat, ini perjuangan seorang Ibu; anak tantrum depan umum yang mungkin untuk orang lain termasuk kejadian yang bikin malu. “Saya sudah menjadi ibu, saya harus bisa melalui ini. Saya yang waras harus bisa mengontrol diri untuk bantu Bilal mengenal emosinya sendiri. Ini salah satu ujian dari perjalanan kali ini, kita bisa lalui.”. Itu terus yang saya afirmasikan pada diri di saat genting seperti itu. Alhamdulillah, tak lama Abahnya Bilal datang dan memperbaiki suasana. Kok terbaca lebay, yah? Tapi percayalah drama-drama kecil macam gini bisa merusak mood sepanjang liburan, bahkan salah-salah bisa bikin anak trauma. Naudzubillahi min dzalik. Jadiii, selama liburan, memang pasti nih aaada aja drama-drama yang menghiasi cerita liburan kita. Nah, disitu seninya jalan-jalan jadi terasa seru dan memorable. So, kita harus pinter-pinter jaga niat biar liburan bisa dinikmati, dan lebih penting lagi bisa disyukuri, semaksimal mungkin. This is mainly noted to myself.
Kemudian Abahnya Bilal langsung beli One Day Tickets, harganya 4€ per orang. Saya sebenarnya ragu untuk beli, tapi untuk jaga-jaga yaa yowislah. Eh benar aja, pas keluar stasiun, kami lihat transportasi publik yang tersedia adalah bus yang to be honest saya kurang sreg. Kebetulan ke Luxembourg ini kami gak buat itinerary yang gimana-gimana, mau fokus bertualang maksimal. Cuma ada beberapa target biasa aja, seperti at least foto di salah satu tourist attraction places, beli tempelan kulkas, jelajah masjid untuk shalat dzuhur dan ashar, dan makan siang. Udah gitu aja. Kami memilih Adolphe Bridge sebagai tourist attraction place, semacam buat bukti kalau kami pernah keliling Luxembourg hehe. Thanks to Google Maps, kami menemukan bahwa Adolphe Bridge letaknya tak begitu jauh dari stasiun. Masih bisa dicapai dengan jalan kaki, alhamdulillah. Lalu, selanjutnya, karena fokus pada bertualang, kami memilih untuk berjalan kaki saja. Dan akhirnya, One Day Tickets yang kami beli tak kami gunakan sama sekali doong. MashaaAllah. Penasaran kan? Kok bisa? Sampai sekarang pun kami masih suka ketawa berdua kalau ingat tiket yang mubazir itu. XD
Di jalan menuju Adolphe Bridge, kami melalui bangunan-bangunan berdisain klasik khasbenua Eropa. Beberapa kali kami melewati restoran, kiosk, atau minimarket. Beberapa kali juga suami menawarkan untuk jajan, mengganjal perut. Tapi saya menolak karena alasan berhemat haha, judlnya juga kan jalan-jalan backpacking ala-ala. Harus pandai berhematlah hoho. Lagipula kami sudah menyiapkan bekal dari rumah, potongan apel, mentimun, dan biskuit untuk Bilal sama Abahnya, serta mie goreng khusus untuk Ambunya aja hehe. Kebetulan di tengah jalan, kami menemukan taman kota yang asri, disediakan beberapa tempat duduk juga. Jadilah kami melipir sebentar untuk nyemil, mengganjal perut. Bilal pun bebas berlarian, bermain kejar-kejaran sama Abahnya. Saya? Saya sibuk mendokumentasikan, and doing live on instagram. Hehe.
Setelah “isi bensin” kami melanjutkan perjalanan menuju Adolphe Bridge, mengikuti arahan google maps. Tapi ternyata kami diarahkan untuk menuju Adolphe Bridge langsung, bukan ke tempat dimana kami bisa memotret sang jembatan hits tersebut. Maka, kami berinisiatif untuk cari sendiri tempat tersebut. Mengira-mengira. Hasilnya memang kami tak langsung sampai ke tujuan, tapi kami menemukan beberapa tempat dengan view oke yang jarang orang lalui. Sambil mencoba memecahkan teka-teki, kemana kami harus pergi? Tiba di ujung jembatan, kami mengikuti arah jembatan saja. Dan, biidznillah, kami sampai juga ke tempat tujuan yang benar. Banyak sekali turis disana yang berfoto dengan beragam pose ajaibnya masing-masing. Nah, ini ada beberapa dari foto Bilal dengan pose ajaibnya juga haha.
Tempat foto Adolphe Bridge ini sepertinya memang pusat turis yaa, jadi ada toko souvenir khas Luxembourg juga. Kami tidak menemui ada toko souvenir lagi setelah itu. Alhamdulillah, kami sempat membeli tempalan kulkas dengan harga standard untuk magnet kulkas di barat.
Setelah berhasil foto di mainstream spot, kami mencari masjid untuk shalat. Ketemu tuh masjidnya dari google maps, eh ndilalah Pak Suami malah ngajak bertualang dulu di tengah jalan menuju masjid. Jadilah kami spontan untuk keliling Luxembourg dengan melupakan google maps sejenak. Kami menemukan jalan-jalan kecil, yang khas Luxembourg banget. Oiya, Luxembourg itu artinya kastil-kastil kecil, maka tak heran kalau kita akan menemukan begitu banyak kastil-kastil berbagai ukuran dan disain di Luxembourg ini. Dan dari petualangan Nabilal yang dadakan nan sok ide inilah kami jadi tahu kalau salah satu keunikan kota ini adalah dengan struktur datarannya yang luar biasa bervariasi. Berbeda sekali dengan Belanda yang datarannya rata, nah kalau di Luxembourg ini mashaaAllah mayoritas naikan atau turunan, dan cukup curam. Beberapa kali kami menemukan jalan yang kira-kira sudut kemiringannya 50°. Iya, semiring itu beiiibs.
Di tengah petualangan spontan kami, kami menemukan taman bermain. Demi Bilal, kami melipir sebentar untuk bermain di playground ini. Bilal dan Abahnya pun gembira main ayunan masing-masing. Sebelum meninggalkan taman ini untuk menuju masjid, kami menyempatkan untuk mengganti diaper Bilal. Tentunya tetap mencari spot yang sepi dan meminimalisir jangkauan pandangan orang lain. Namanya traveling sama toddler yaa begini, harus bisa ngakalin gimana supaya kebutuhan anak terpenuhi, sehingga anak tetap nyaman selama liburan.
Association Islamique Le Juste Milieu (LJM) Asbl nama masjid yang kami kunjungi untuk #NabilalJelajahMasjid di Luxembourg. Masjid ini terletak di area perumahan gitu, dari luar memang tidak terlihat sebagai masjid. Biar begitu, di dalam masjidnya tetap bersih dan nyaman. Saya pun bisa dengan tenang menyusui Bilal di ruangan khusus perempuan. Pak Suami tak sempat mendokumentasikan seperti apa shaf untuk lelaki karena katanya saat itu masjid tengah ramai dengan jama’ah yang bersiap menunaikan shalat ashar.
Keluar dari masjid, kami mencari restoran yang menyediakan makanan khas Luxembourg yang halal. Namun sayang, kami tak menemukan makanan atau jajanan apa yang khas dari Luxembourg, dan lagi hampir semua restoran halal di Luxembourg sedang tutup saat it. Sebagian dari mereka baru buka menjelang malam nanti, sedangkan kami tak bisa berlama-lama. Jadilah kami memilih untuk makan siang di salah satu kedai kebab, lokasinya strategis, sangat dekat dengan stasiun. Bisa dicapai dengan berjalan kaki juga dari Masjid.
Kedainya cukup luas, bersih, dan pelayanannya juga oke. Saya memesan burger mengingat burger halal termasuk langka disini karena daging yang digunakan adalah daging cincang asli, seperti daging burger Mekdi atau Raja Burger gitu. Bukan isian salami ala burger yang dijual di sekolahan hehe. Suami pesan Adana Kebab dengan burgul, plus pommes atau kentang goreng juga. Bilal? Bilal icip punya Ambu dan Abahnya aja yaa hoho kebetulan porsinya juga besar. Dua menu ini ditambah sekaleng Lipton ini harganya sekitar 20€. Sebenarnya rada kecewa sih gak makan makanan khas Luxembourg, kalau kebab begini juga di Dortmund mah banyak. Tapi yaa tetap harus bersyukur kan, masih ada yang bisa dimakan hehe. Alhamdulillah.
Setelah makan, kami masih ada sisa waktu lumayan lama, sekitar sejam sebelum kereta kami siap berangkat. Pak Suami beberapa kali mengajak untuk ngeteh sore sambil ngemil kek sebagai dessert. Tapi melihat harganya kok yaa saya eman-eman haha dasar perempuan. Akhirnya begitu liat-liat di salah satu bakery ternama yang ada di stasiun, nemu macaroons, dan pengen. Eh sayang, gak keburu karena tokonya sudah mau tutup. Baru deh dari situ browsing tentang macaroons di Luxembourg. Ternyata ada macaroons yang lebih terkenal, yang berasal Paris, Prancis sebagai jirannya Luxembourg. Namanya tokonya Ladurée. Well, jadi referensi nih kalau suatu saat liburan ke Paris inshaaAllah.
So, over all liburan kali ini adalah yang paling fleksibel dibanding dengan liburan kami sebelumnya ke Amsterdam dan Brüssels. Walaupun paling lama perjalanannya kalau dari Dortmund, tapi liburan kali ini terasa lebih santai. Mungkin karena itinerary yang dibuat gak se-“ngoyo” trips sebelumnya kali yaa hehe. Apalagi suami yang super excited pas jalan kaki bertiga jelajah kota Luxembourg, hanya mengikuti langkah kaki membawa kami. Ditambah keindahan ukiran alamnya yang suami suka sekali. Perjalanan yang hanya mengandalkan jalan kaki, tanpa transportasi sama sekali ini seperti jawaban atas wish suami di Brüssels beberapa pekan sebelumnya. Beliau pernah bilang di kereta di Brüssel kalau beliau sebenarnya kurang suka trip yang kelamaan di alat transportasi. Bagi beliau, eksplore suatu daerah dengan berjalan kaki itu yang seru. Semakin adventurous, semakin menarik. Jadilah perjalanan di Luxembourg ini cocok banget buat beliau. Saya pun ikut happy melihat suami sangat menikmati liburan kali ini. Bahkan Pak Suami sih pengen (pake) banget untuk jalan-jalan, yang literally jalan-jalan di Luxembourg lagi. Berbeda dengan beliau, saya sih merasa kalau Luxembourg ini sama seperti Keukenhof. Very nice, but for me, once is enough hehe. Lebih baik mengunjungi tempat-tempat baru yang sama-sama menarik untuk dikunjungi. Seperti kota Cochem misalnya hihi.
Alhamdulillah, akhirnya bucket list untuk mengunjungi Benelux di tahun ini atas izin Allah sudah terpenuhi. Salah satu bentuk nikmat Allah yang wajib kami syukuri. It’s obvious that we can’t hardly wait for the other trips coming forward. InshaaAllaah. See you!
Sudah tahu kan kalau Benelux Trips kami ini bermula dari perjalanan dadakan kami ke Belanda di hari jadi Bilal yang pertama. Bukan, bukan untuk meryakan ulangtahun Bilal. Untuk lebih jelasnya, kenapa Benelux? Kenapa hanya sehari di hari Sabtu? Dan kenapa via kereta cepat antar negara dan bukan alat transportasi lainnya? Sila intip artikel sebelum ini mengenai perjalanan kami ke Brüssels, Belgium.
NE for NETHERLANDS
Amsterdam dan Zaanse Schans, 11 Agustus 2018.
Kami beli tiket mendadak, hanya beberapa hari sebelum berangkat. Maka kami dapat tiket dengan tarif pulang-pergi bertiga lumayan mahal, 129€ atau setara dengan sekitar Rp 2,1jt menurut kurs saat ini. Itu pun kami dapatnya yang tiga kali transit untuk ganti kereta. Dimulai dari Dortmund ke Münster dan dari Münster ke Enschede, kami menggunakan kereta cepat Jerman yang biasa kami gunakan, namanya Deutsche Bahn. Kereta cepat alias Schnellbahn dari Deutsche Bahn ini cukup nyaman, stroller bayi ada tempatnya khusus bersama sepeda. Sangat sepi, mungkin karena masih pagi dan di akhir pekan juga kali yaa. Iya, seperti biasa, kami berangkat sebelum matahari terbit di hari Sabtu. Semacam “sabtu bersama Abati” untuk Bilal hehe.
Kami sempat mengalami sedikit kendala di Stasiun Enschede. E-ticket kami tak bisa terbaca mesin, jadilah selama sekitar limabelas menit kami harus mengurusnya ke Pusat Informasi setempat untuk mendapat tiket pengganti. Nah, ternyata Enschede ini semacam stasiun perbatasan antara Jerman dan Belanda. Ada pembatas yang memisahkan antara jalur kereta lokal Jerman dengan jalur kereta Belanda. Tentu saja, kereta lokal masing-masing negara pun berbeda. Menurut saya, kereta lokal Belanda cenderung lebih besar. Oiya, ada sedikit cerita di stasiun ini, saat perjalanan pulang kami melihat ada remaja-remaja yang membawa sepeda, namun kemudian ditegur oleh petugas. Mereka pun akhirnya meninggalkan sepeda mereka begitu saja di stasiun. Suami saya menjelaskan bahwa mereka adalah remaja Belanda yang salah faham mengenai peraturan Deutsche Bahn. Mereka kira gratis membawa sepeda dalam Deutsche Bahn, nyatanya ada harga khusus untuk penumpang yang membawa sepeda. Mereka pun memilih meninggalkan sepeda begitu saja di stasiun karena sepertinya mereka tinggal di sekitar perbatasan, mungkin pertama kali bawa sepeda pakai kereta, atau mungkin juga pertama kali ditegur oleh petugas haha.
Dari Enschede ke Utrecht, baru dari Utrecht Centraal ke Amsterdam Centraal. Sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan yang mashaaAllah indah sekali. Hamparan rumput hijau dan langit biru yang cerah. Ini yang kami suka dari perkalanan menggunakan kereta. Ehiya, mertua-mertua saya selalu mengingatkan untuk perhatikan perbedaan antara Jerman dan Belanda saat di perbatasan. Apa itu perbedaan yang dimaksud? Selain bahasanya, juga landscapenya. Di Belanda tanahnya cenderung lebih rata, tak ada bukit atau dataran tinggi, maupun yang dataran rendah. Semua cenderung rata. Tak seperti di Jerman yang rumah di perbukitan dapat terlihat dari dataran yang lebih rendah. Allahuakbar. Desain bangunannya pun berbeda, desain bangunan di Belanda sangat mirip dengan desain bangunan tua di Indonesia. Wajar lah yaa, karena Belanda pernah menjajah di Indonesia, sehingga banyak memengaruhi arsitektur bangunan di tanah air.
Kami tiba di Amsterdam pukul sebelas siang. Di stasiun Amsterdam Centraal sangat ramai dengan turis dari berbagai penjuru dunia. Dalam keramaian itu, saya terpukau sendiri dengan keindahan arsitektur stasiun, megah. Saya perhatikan detil ukiran di dinding dan langit-langit stasiun, cantik. Tanpa terasa saya pun menitikkan air mata haru, akhirnya saya menginjakkan kaki di ibukota Belanda ini. Yang sebelumnya hanya saya lihat dari gambar di layar, kini saya dapat menyaksikannya langsung. Betapa Allah baiknya pada saya, alhamdulillah.
Melihat keindahan stasiun yang klasik ini, rasanya tak sabar untuk langsung menjelajah Amsterdam. Namun, saya ingin menyempatkan mampir ke Zaanse Schans terlebih dahulu. Setelah tanya ke petugas disana, mereka menyarankan untuk beli tiket Zaanse Schans terpisah karena jatuhnya jadi lebih murah. Harga tiket kereta lokal (pulang-pergi) dari Amsterdam ke Zaanse Schans adalah 7,5€ per orang, toddler seperti Bilal masih gratis. Perjalanannya memakan waktu sekitar duapuluh menit ke Stasiun Zaanjik, lalu kemudian sekitar sepuluh menit jalan kaki.
Zaanse Schans adalah desa tradisional yang sangat terkenal di kalangan turis. Bangunan-bangunan tua yang khas menjadi daya tarik tersendiri. Kincir angin menjadi highlight dari tempat wisata ini. Bayangkan, kincir angin tradisional dari abad ke-19 masih bekerja dengan normal hingga saat ini. Ditambah suasana pedesaan yang tenang, beberapa peninggalan industri kuno yang masih terawat dengan apik, tak heran Zaanse Schans ini ramai dikunjungi. Wong, jalan kaki keliling desa saja sudah bikin rileks. MashaaAllah. Dan ya, kami bertemu dengan beberapa turis asal Indonesia juga loh hehe.
Di area wisata kincir angin ini, kita bisa melihat beragam binatang ternak, seperti domba, sapi, dsb. Ada beberapa museum, pabrik keju, pabrik cokelat, dan tentunya beberapa toko yang menjual souvenir dan berbagai barang vintage lainnya. Karena saya tak yakin bisa membeli tempelan kulkas di Amsterdam, saya pun beli magnet kulkas khas Zaanse Schans dan kota Amsterdam disini. Harganya juga standard, sekitar 3€ satuannya. Di samping itu semua, ada pula toko yang menyediakan cemilan seperti es krim, cokelat panas, dan wafel. Kami pun menikmati es krim yang sangat terasa susunya itu, ngemper persis di depan kincir angin.
Hari semakin sore, kami pun memutuskan segera untuk kembali ke Amsterdam untuk shalat dan makan siang. Di jalan menuju stasiun, kami menemukan museum peralatan konstruksi tua yang cukup menarik perhatian suami.
Lalu kami kembali ke Amsterdam Centraal, berfoto depan stasiun dengan spot yang sangat mainstream ala turis. Saya terharu lagi, membatin, “Ini kan biasanya liat di layar aja, sekarang depan mata langsung. Bermimpi pun tak sempat, benar-benar Allah Maha Baik.”. Setelah itu, suami beli tiket transportasi kota untuk seharian keliling Amsterdam, harganya 7,5€ per orang. Bilal masih free. Tempatnya ada di dalam stasiun, dekat pintu keluar. Tapi hari ini One day Ticket sedang habis, adanya yang Two Days Ticket. Petugas menyarankan kami untuk beli di booth di luar stasiun. Benar saja, ada mobil khusus untuk menjual tiket ini. Sebenarnya bisa saja beli tiket satuan yang dihitung per stasiun, kami ambil tiket seharian biar simple saja.
Kami langsung menuju ke Westermoskee Aya Sofya Amsterdam untuk jelajah masjid di trip kali ini, sekalian shalat dzuhur dan ashar. Jaraknya sekitar duapuluh menit menggunakan trem dari Amsterdam Centraal. Selama di perjalanan kita bisa melihat-lihat kota Amsterdam yang cantik dengan kanal-kanalnya yang khas Amsterdam banget. Masjidnya bersih, rapi, dan arsitekturnya sangat elegan mashaaAllah. Sayang, kami tak sempat foto-foto lama karena dikejar waktu. Boleh dilihat sendiri gambar-gambarnya di google. Pokoknya kalau ke Amsterdam, menurut kami, harus deh mampir ke masjid ini. Di masjid ini kami bergantian shalat, saya menyusui Bilal, Bilal ngemil smoothie, diakhiri dengan kerjasama ganti diapernya Bilal.
Setelah kami selesai, kami mencari restoran Indonesia terdekat. Kami menemukan Restoran Bunda, yang hanya berjarak sekitar sekilometer dari masjid. Sepuluh menitan berjalan kaki. Kami menikmati saat-saat jalan kaki seperti ini karena kami bisa menikmati udara segar, mengeksplor lingkungan sekitar sambil mengobrol dan bercanda. Benar-benar quality time.
Ternyata letak restonya cukup strategis, tepat di pinggir jalan besar. Begitu tiba, kami langsung pesan menu Rijsttafel untuk dua orang. Rijsttafel, dibaca “rèisttafel”, secara harfiah dalam Bahasa Belanda berarti “meja nasi”, merupakan cara penyajian makanan berurutan dengan pilihan hidangan dari berbagai daerah di Nusantara. Ibu pemilik resto dengan ramah bertanya, “Ini porsi besar loh, yakin mau?”. Saya tersenyum dan meyakinkan beliau kalau kami sedang lapar, dan kebetulan porsi makan kami (terutama suami) memang lumayan besar haha.
Harganya 29€, ditambah sekaleng coca-cola dan sedikit tips, jadi sekitar 30€-an in total. Mahal? Yaa kalau dibandingkannya sama warteg di Indonesia. Menurut kami, ini relatif murah untuk ukuran makanan khas Indonesia yang lezat dan otentik, di tanah Eropa pula. Langka. Yaa daripada masak sendiri juga, belum tentu hasilnya seenak ini kan. Kami sangat menikmati sajian di restoran ini, tempatnya pun bersih, pelayanannya oke. Selama kami makan di Resto Bunda ini, restonya cukup ramai pembeli. Bule doyan makanan Indonesia juga toh hehe. Gak menyesal sama sekali lah sudah jauh-jauh dari Dortmund kesana untuk sekedar melepas rindu dengan cita rasa Nusantara.
Sebelum pulang, saya sempat melihat parkiran sepeda yang mashaaAllah padatnya serupa dengan parkiran motor di Indonesia. Gak heran sih karena sepeda jadi transportasi favorite di kota ini. Pemerintahnya benar-benar memperhatikan fasilitas untuk pesepeda, seperti lajur khusus pesepada di jalan lebih besar dari trotoar untuk pedestrian. Bahkan, menurut cerita dan kami alami sendiri juga, para pesepeda di Amsterdam ini tak segan menabrak pejalan kaki yang seenaknya ambil hak mereka di jalan. Jadi, kita sebagai turis, harus lebih berhati-hati.
Dan pada kesimpulannya adalah trip perdana Nabilal ini sejujurnya lumayan “rusuh” bagi kami. Itinerary yang direncanakan terlalu padat, sehingga kami harus diburu waktu. Belajar dari pengalaman kami, jika pembaca ingin mengunjungi Zaanse Schans juga, sebaiknya sediakan waktu minimal sehari khusus untuk jelajah Zaanse Schans. Sepertinya akan lebih efesien apabila fokus menjelajah Amsterdam saja seharian. Kalau mau jelajah kota jirannya, mending siapkan waktu ekstra lagi. Allahu’alam.
But after all, alhamdulillah, Amsterdam asik banget! Kayanya emang magis sih keelokkan kota ini, semacam cakep terus di segala musim gitu gak sih? We definitely will come back again soon inshaaAllaah. So, now, I wonder, where will we go on 11st of August next year? haha jadi mulai ketagihan kan. See you on the next trip, dear readers!
Semua bermula dari rencana family bonding di hari ulang tahun Bilal yang pertama, bukan untuk merayakan ulang tahun sama sekali, melainkan sebagai bentuk syukur dan apresiasi diri telah melewati tahun pertama sebagai orangtua. Since we believe that a birthday is a reminder there was a big day when the mother’s life changed, in all it means. So, Bilal’s birthday is not a day that he celebrates every years later on. Instead, that day belongs to me, his mother 😉 . Dan saya memilih untuk traveling keluar negeri bertiga saja untuk pertama kalinya, karena sebelumnya kami safar keluar negeri untuk silaturahim.
Lalu, mengapa Benelux? Tadinya tidak terpikirkan untuk keliling Benelux sama sekali. Kami mendapatkan tiket promo ke Venice, Italy, untuk tiga hari. Namun kami cancel karena suami sedang sangat sibuk dan tak yakin bisa meninggalkan pekerjaan dengan tenang. Tapi, sehari sebelum harinya, beliau pesan tiket kereta ke Amsterdam, meski dengan harga tergolong mahal. Padahal kami bisa dapat hingga separuh harga atau bahkan lebih murah lagi, jika memesan jauh hari. Berulah di perjalanan ke Belanda itu, saya menemukan Benelux sebagai istilah yang baru saya dengar. Menurut penjelasan Wikipedia, Benelux merupakan nama uni ekonomi di tiga negara monarki; Belgia, Belanda, dan Luxembourg. Ya, nama Benelux diambil dari awalan nama tiap negara. Didirikan pada awal 1944, Benelux bisa dikatakan sebagai pelopor Uni Eropa. Kemudian muncul do’a agar perjalanan Benelux ini menjadi pelopor perjalanan kami keliling Eropa, atau bahkan keliling dunia.
Kami selalu pilih perjalanan untuk Benelux ini di hari sabtu, pulang-pergi di hari yang sama, tanpa menginap. Kenapa? Karena Benelux tak begitu jauh dari Dortmund, bisa dilalui beberapa jam saja menggunakan kereta cepat antar negara yang cukup nyaman. Kami bisa bawa stroller bayi kami yang sebenarnya tidak travel friendly. Seperti yang tertera di judul, kami hanya membawa backpack / ransel masing-masing. Tak perlu ambil jatah libur suami, dan suami masih bisa istirahat di hari minggunya sebelum kembali bekerja pada hari senin. So, isn’t it a win win solution? ^^
BE for BELGIUM
Brüssels, 15 September 2018.
Sehari setelah perjalanan ke Belanda, saya iseng cek tiket untuk ke Brüssels. Biidznillah nemu yang murah, pake kereta cepat Thalys, tanpa transit lagi, bertiga cuma kena 75€ atau sekitar 1,3juta rupiah bila mengikuti kurs sekarang. Penuh semangat saya kasih liat suami, gak begitu berharap bakal di-acc suami. Ternyata, begitu liat, beliau langsung pesan tikatnya tanpa pikir panjang. Saya pun lumayan surprised, alhamdulillah.
Ini adalah perdana kami menggunakan Thalys, kereta berkecepatan tinngi dari/ke Brüssels dan Paris. Kebetulan Dortmund masuk salah satu rute destinasi terujung, terawal ataupun terakhir. Kami ambil jadwal sepagi mungkin, berangkat sebelum subuh dari rumah. Kereta Thalys ini sebenarnya cukup nyaman, hanya saja karena stroller bayi harus ditaruh bagasi, jadilah Bilal harus duduk bersama kami. Hal ini membuat Bilal tidur cuma sebentar di awal perjalanan, sisanya yaa eksplorasi. Terlebih di perjalanan pulang kami bertemu dengan keluarga yang berbahasa Rusia, anaknya yang berusia sekitar tujuh tahun bercanda terus sama Bilal mashaaAllaah. Ekspektasi lama perjalanan sekitar lima jam, terasa lama dan melelahkan karena bayi gak tidur. Lalu, saat menuju Brüssels, meski kereta berangkat tepat waktu dari Dortmund, qadarullah masinis harus menggunakan jalur yang lebih jauh sedikit karena sedang ada perbaikan di jalur biasa. Sehingga, kami pun tiba di Brüssels sejam lebih siang dari yang direncanakan.
Begitu tiba di stasiun Gare du Midi, kami langsung membeli One Day Ticket seharga 7,5€ (sekitar 130rb rupiah bila mengikuti kurs saat ini) untuk transportasi keliling kota seharian. Berdua jadi 15€, Bilal bebas tiket. Menurut kami ini terbilang murah, melihat sarana transportasi publik disana yang cukup nyaman. Sistem transportasi disini sangat jelas dan mudah dipahami, atau kita bisa ikuti saja petunjuk dari google maps. Hanya saja, saya mendapatkan pengalaman menarik mengenai trem kota Brüssels ini. Yakni, apabila masinis sudah menutup pintu kereta untuk bersiap pergi meninggalkan stasiun, maka jang pernah coba untuk memaksa masuk karena kalian akan beresiko terjepit pintu kereta yang tak kenal ampun. Ini saya sempat alami sendiri di Brüssels, kami telat sepersekian detik, namun karena bawa stroller bayi, jadi lumayan menghambat gerak. Saya pun berinisiatif untuk menaruh pergelangan tangan saya, yang saat itu tengah menggenggam ponsel, mengira bahwa dengan begitu pintu kereta akan terbuka kembali dan membiarkan kami untuk masuk seperti sistem trem di Dortmund. Tapi ternyata dugaan saya salah, pintu kereta menghimpit cukup lama, hingga saya pun merasakan sakit. Barulah pintu terbuka dan kami masuk kereta dengan MALU, ditambah Pak Masinis yang mengecek keadaan kami dengan tampang super bengis. Nyaris menangis seketika saya, bukan karena sakitnya, tapi karena malunya huhu. Alhamdulillah, masih selamat.
Destinasi pertama kami adalah Atomium, sekitar setengah jam dari stasiun Gare du Midi. Kami diturunkan di satu stasiun sebelum stasiun terdekat dengan Atomium. Boleh menunggu kereta selanjutnya, tapi kami memilih untuk berjalan kaki. Sebelum tiba di area Atomium, kami melihat ada entrance gates untuk semacam Planetarium, anak-anak yang sedang bermain hockey di lapangan, dan Mini Eropa. Berhubung tema jalan-jalan kami saat itu adalah backpacking, maka kami memilih destinasi wisata yang gratis saja haha. Lagi pula, Bilal belum begitu mengerti hal-hal seperti itu. Kalau ada rizkinya mungkin kami akan kembali lagi ketika Bilal sudah lebih besar untuk mengunjungi Mini Eropa di Brüssels inshaaAllah.
Di Atomium kami hanya ngemper di tamannya, makan bekal, dan sesi foto as it’s a must! 😀 Kondisinya saat itu cukup ramai, agak kurang rapi karena banyak perintilan bekas atau bakal event. Tapi untuk destinasi wisata yang mainstream dan di akhir pekan, alhamdulillah masih terhitung lumayan sepi lah. Kami tidak mengambil tur dalam Atomium karena sekali lagi, kami cari yang gratis haha. Di sekitar Atomium pun banyak area buat dieksplor kok. Eh iya, saya beli tempelan kulkas disini seharga 7€, mahal! Jangan mau beli di Atomium, di sekitar Grand Palace lebih banyak variasi dan bisa dapat lebih murah pula. Saya terpaksa beli karena khawatir tidak menemukan toko souvenir lagi. Sedangkan saya mengoleksi tempelan kulkas dari setiap kota atau negara yang kami kunjungi.
Tak berlama di Atomium, kami bergegas mencari Masjid untuk menunaikan shalat dzuhur dan ashar sekalian dijamak. Inilah salah satu hikmah traveling yang saya suka, bisa melaksanakan sunah safar yang salah satunya adalah menggabung waktu shalat dan meringkas jumlah rakaatnya. Kurang lebih setengah jam lagi dari Atomium menuju Masjid Agung Brüssels, menggunakan trem, tapi juga jalan kaki lumayan jauh. Di trem suami sempat bilang kalau beliau kurang suka kalau kami traveling yang lama di moda transportasi seperti ini, beliau lebih suka berjalan kaki dan eksplorasi. Jadi biar jalan kaki lumayan jauh, kami justru sangat menikmatinya. Memang sih, jarak dari beberapa spots turistik di Brüssels seperti Atomium dan Masjid Raya ini saja butuh waktu masing-masing setengah jam untuk mencapainya. Bahkan suami rela tidak mengunjungi Jean Claude van Damme Statue karena persoalan lama di jalan ini. Ya walaupun sebenarnya di tiap titik terdapat lebih dari satu destinasi, tetap harus bijak menyusun itinerary mengingat waktu kami di Brüssels terbatas.
Masjid Agung Brüssels terletak di kawasan elit European Quarter, yang merupakan kawasan markas pusat Uni Eropa. Tak heran sepanjang jalan dari stasiun ke masjid, kami melalui beberapa bangunan-bangunan megah nan modern. Saya sempat bergumam, “Wah, kaya di New York yaa Mas!”. Gaya banget, sok tahu, padahal belum pernah ke Ameriki sama sekali haha. Masjid ini adalah Masjid tertua di kota, yang tadinya adalah sebuah museum. Masjidnya luas, terlihat sudah berumur memang, namun terjaga kebersihannya mashaaAllah. Ketika kami datang, ada beberapa pemuda yang sedang duduk-duduk di ruang depan Masjid, mereka siap membantu menunjukkan arah dengan ramah. Setelah shalat, saya menyusui Bilal untuk mengosongkan PD dan memberinya smoothie untuk cemilan. Kami diberi akses ke ruang kelas di Masjid untuk mengganti diapernya Bilal. Nah, setelah selesai, kami melipir sebentar ke taman bermain yang cukup besar persis di sebelah Masjid. Bersih, rata-rata playground di Eropa memang terawat dan sangat diperhatikan pemerintah sepertinya. Banyak anak-anak yang sedang bermain bersama orangtua dan teman-teman mereka, Bilal pun senang untuk ikut bermain disana.
Setelah dari Masjid (dan playground), kami mampir ke Carrefour Express untuk jajan sedikit. Sudah masuk jam makan siang, kami pun mencari kentang goreng khas Belgia. Eh di jalan, kembali ke kawasan elit yang kami lewati sebelumnya, kami menemukan Parc du Cinquantenaire yang merupakan taman terkenal di Brüssels. Ternyata letaknya berdampingan dengan Masjid Agung Brüssels tadi. Sebenarnya taman ini sama sekali tak masuk itinerary kami, tapi qadarullah Allah bimbing langkah kaki kami untuk sampai kesana mashaaAllah. Seandainya punya waktu lebih banyak di Brüssels, kami akan bersantai dengan piknik di taman yang indah ini.
Hari sudah semakin sore, kami pun bergegas ke pusat kota lagi, mendekati stasiun Gare du Midi lagi untuk bersiap pulang. Kami mengincar Belgium Waffle dan Holland Frites di perjalanan singkat ke Belgia ini. Setelah menempuh another half an hour dari kawasan elit European Quarter tadi, kami tiba di area Grand Palace. Ini adalah pusatnya destinasi turistik yang mainstream di Brüssels. Dengan hanya berjalan kaki, kita dapat mengunjungi Mannekin Piss Statue, Grand Palace, Mural Tintin, dan jajan-jajan cantik karena banyak toko-toko menghiasi tiap sudutnya. Kalau kalian punya waktu super singkat, sepertinya jalan-jajan di daerah ini saja sudah cukup mewakili itinerary jelajah Brüssels, banyak hal-hal yang Brüssels banget bisa kita lihat disini. Ditambah stasiun yang berjarak sekitar sepuluh menit dengan hanya berjalan kaki.
Pas banget mau ke Grand Palace, di jalan dari stasiun kami berpapasan dengan mini karnaval iring-iringan gitu. Beberapa pria berskostum bermain musik, berdansa, sambil sesekali membagikan jeruk. Entah dalam rangka apa, tapi ini cukup menghambat jalan kami. Kami pun mencoba mencari jalan alternatif dengan memasuki salah satu bangunan pusat perbelanjaan, dan surprisingly kami keluar di gang kecil yang super adventourous. Seperti hidden gem yang biasa kami lihat di film-film barat. This is what we love! Get lost and find something wonderful, even just as simple as the hidden street like we’ve been at in Brüssels. MashaaAllah.
Kami sempat mampir ke toko souvenir di daerah Grand Palace ini. Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, tempelan kulkas disini lebih bervariasi, gemes-gemes, harganya jauh lebih murah (saya beli dua magnet yang dibandrol 3€-an satunya), dan kebetulan pemilik toko yang kami kunjungi adalah muslim juga. Beliau memberi salam, dan melayani dengan ramah. Indahnya ukhuwah, dimana saja asal masih di bumi Allah, selalu merasa di rumah tiap bertemu saudara seiman lainnya. MashaaAllah.
Kami mencari waffle, tanpa lebih dulu research kedai waffle mana yang terbaik. Kami hanya berjalan, mengikuti langkah kaki. Dua-tiga kedai waffle kami temui dan nampaknya tidak menarik. Begitu sudah hampir di ujung jalan, barulah kami menemukan kedai waffle yang menarik perhatian kami. Menurut bisik yang terdengar dari turis lain, ini adalah kedai waffle terbaik di Brüssels. Sayang, antreannya mengular sangat panjang. Sedang kami harus bergegas. Maka, kami memutuskan untuk membeli waffle di kedai waffle yang selanjutnya kami temukan. Sama mengantre, namun tak sepanjang antrean kedai waffle sebelumnya. Nama kedainya Waffle Factory. Mereka menyediakan 100% homemade waffle yang seluruh bahannya, bahkan adonannya dibuat se-fresh mungkin. Sekeping Brüssels waffle dihargai 3€ dengan aneka pilihan topping berkisar 1€/2€ per varian topping. Enak, cuma tidak mengenyangkan. Tak apalah, demi pengalaman makan Belgium waffle langsung dari tempat asalnya kan kapan lagi? Lokasinya persis berseberangan dengan mural Tintin, jadi kami menikmati waffle hangat yang lezat sambil memandangi mural Tintin, dan tentunya busy streets yang terkesan Brüssels banget.
Target selanjutnya adalah Frites, alias kentang goreng. Saya sempat research singkat, dan hasilnya saya menemukan kedai Frites yang paling direkomendasikan banyak orang di internet, berada tak jauh dari mural Tintin. Yakni, kedai Mannekin Piss Frites. Saya melihat plangnya memang tak jauh dari kedai waffle. Namun begitu dihampiri, ternyata bukanlah kedai kentang goreng yang kami dapati, melainkan bar and resto. Dan, surprisingly lagi, kemi justru menemukan Mannekin Piss Statue di seberang bar tersebut. Sebenarnya saya tak masukkan Mannekin Piss Statue ini dalam itinerary kami, namun sekali lagi qadarullah Allah membawa langkah kaki kami kesana mashaaAllah. Patung anak kecil yang sedang buang air kecil, buat saya sih kurang menarik. Tapi cukup menarik ternyata historical story patung tersebut yang saya dengar dari video blognya pasangan penggemar sepak bola, Darius Sinathrya dan Donna Agnesia. Diceritakan bahwa asal mula patung ini adalah ketika suatu hari ada seorang anak kecil yang tersesat, keliling kota dan kebetulan ia menemukan sumbu yang menyala saat ia kebelet. Jadilah ia dengan polosnya buang air kecil sembarangan di sumbu api yang menyala tersebut, sehingga apinya padam. Ternyata oh ternyata, sumbu yang menyala tersebut adalah sumbu yang dipasang oleh musuhnya Belgia pada masa itu untuk meledakkan seluruh kota. Maka, dibikinlah patungnya si anak kecil tadi sebagai bentuk menghargai jasanya yang tak sengaja menjadi pahlawan kota.
Kemudian, kami sambil setengah berlari, mengikuti petunjuk arah dari google maps untuk mencapai Mannekin Piss Frites, yang ternyata bukan Mannekin Piss Frites yang kami maksud. Tapi, alhamdulillah, kedai Mannekin Frites ini mengantongi label halal. Kentang goreng dengan label halal? Baiiik XD . Frites ternyata potongannya besar, dan terbaik dinikmati saat masih hangat. Seingat suami harganya sekitar 5€, kami ambil yang ukuran medium. Berhubung kami dikejar waktu, Frites kami pun masih sangat panas, maka kami berlari kecil ke stasiun Gare du Midi. Ini nih, satu hal lagi yang jadi pelajaran, teliti cek waktu keberangkatan kereta. Suami sempat missed, sehingga berakhir kami harus berlari mengejar kereta. Subhanallah, seru sih tapinya haha.
Alhamdulillah, seharian penuh menjelajah Brüssels. Another bucketlist is checked! ^^. Sampai di Dortmund sudah tengah malam, kami menyempatkan beli makan malam di stasiun untuk dimakan di rumah. Lalu kami tidur dengan nyenyak karena kelelahan. So, kesan kami untuk perjalan kali ini adalah bersyukur. Kenapa? Karena trip ini memberikan banyak pelajaran dan pengalaman baru yang sangat berharga, kami dapat mengunjungi beberapa tempat-tempat menarik di luar itinerary yang kami buat, dan perjalanan ini terasa lebih rileks alias gak seriweuh dan grasak-grusuk dikejar waktu seperti trip sebelumnya ke Belanda. Mungkin karena belajar dari pengalaman juga kali ya? Hehe. Ohiya, di Brüssels ini, terutama di stasiun atau tremnya, kami bertemu dengan orang-orang asing yang sepertinya bukan orang Belgia asli. Entah itu turis atau penduduk asli. MashaaAllah.
Indeed, we hope to visit this beautiful city again for its authentic foods lol, and visit Jean Claude van Damme Statue as Mr Husband wishes for. Hopefully we will get the chance to visit other cities around as well, inshaaAllah.
Last but not least, sebelum mengakhiri artikel ini, saya ingin mengingatkan kita semua, terlebih saya sendiri, untuk tidak lupa memulai sesuatu dengan asma Allah sehingga apapun akan dinilai ibadah inshaaAllah. Traveling bukan untuk senang-senang atau foya-foya ajang pamer semata, tapi juga bisa mengambil keutamaan safar yang diantaranya; perbanyak berdzikir dan berdoa. Karena salah satu doa yang dikabul adalah doanya seorang musafir. Jadi, saat traveling jangan cuma inget foto-foto, ingatlah juga dzikir dan doa biar perjalanan kita membawa keberkahan dan kebaikan, semoga Allah ridha dan senang, lalu Allah kasih kesempatan untuk traveling lagi dan lagi deh. Aamiin.
Sudah dulu yaa. Sampai bertemu di perjalanan selanjutnya!
Never dreamed, or even just thought to travel abroad before. Also, I did never ask my husband to travel far, and didn’t think to request for kind of “babymoon” (eventhough it’s just a short) trip at all. We must really thank our Mama for making this happen. And this trip is my very first abroad experience that leads me to starve for more adventure from exploring the world with my beloved ones!
Sebelum pindah ke Jerman, saat masih masanya LDR, sempat iseng ngobrolin Keukenhof sama Mama mertua. Padahal asli deh cuma basa-basi aja, eh diseriusin. Jadilah hari itu sampai kesana, anggap aja ‘babymoon’ yang gak disengaja hehe. Alhamdulillah.
Mungkin ada yang belum tau, apa sih Keukenhof itu? Keukenhof adalah taman bunga yg sangat luas dan indah terletak di kota Lisse – Belanda, yang terkenal dengan hamparan variasi bunga, terutama Tulip sebagai bunga khas negara kincir angin tersebut. Meskipun menurut sejarah, bunga Tulip tersebut asalnya dari negara Turki.
Sepanjang tahun, Keukenhof hanya buka sekitar dua bulan di musim semi, sekitar Maret sampai Mei. Misal untuk tahun 2018 ini Keukenhof dibuka dari tanggal 23 Maret hingga 23 Mei. Menurut rekomendasi banyak orang, akhir April ialah waktu terbaik berkunjung ke Keukenhof, mengingat saat itu cuaca diperkirakan akan cukup bersahabat dan bunga sedang bermekaran.
Tadinya agak khawatir ya, karena saya bukan tipe orang yg penjelajah banget, maksudnya lebih senang diam di rumah gitu, apalagi ini harus jalan kaki di taman yg lwegaaa bener, mana isinya bunga-bunga doang. Fyi, selama ini suami pun belum pernah kasih bunga karena ngerti istrinya gak tertarik. Eh ini malah dibawa ke taman bunga. Tapi ternyata, alhamdulillah ala kulli hal, gak boring seperti yang dibayangkan loh! ^^
Perjalanan Dortmund-Keukenhof memakan waktu kurang lebih tiga jam. Kami memilih bus dari salah satu agen travel sebagai transportasinya karena gak mau kalau harus ada yang lelah menyetir mobil pulang-pergi. Mama mertua dan saya memilih hari itu (Sabtu, 22 April 2017) biar suami gak perlu cuti, wong liburannya cuma sehari kok. Jadi, boleh dibilang weekend short get away gitu juga gak sih? hihi.
Lumayan excited sih lantaran ini adalah kali pertama saya liburan ke luar negeri, sama suami, Mama mertua dan suaminya ikut juga. Kalau ke Jerman kan bukan liburan yaa, tapi memang pindah. Saya pun tercengang dengan keindahan pemandangan yang menghiasi perjalan kami. MashaaAllaah.
Kami tiba di Keukénhof sekitar pukul 11 siang waktu sana. Di sekitar pintu masuk pun sudah ada beberapa hamparan bunga Tulip seakan menyambut para pengunjung. Ada booth penyewaan sepeda dan kursi roda pula, khusus kursi roda harus dipesan melalui website beberapa hari sebelumnya. Wah, kayanya seru sih bersepeda keliling taman ini, tapi sayang, saat itu cuaca kurang mendukung dan taman sedang ramai pengunjung. Mungkin bisa dicoba di lain kesempatan. Anyway, jangan lupa berfoto di depan papan nama Keukénhof yaa! ^^
Masuknya pun mudah, alhamdulillah waktu itu gak begitu antre. Cukup menunjukkan barcode yang sudah kita print di rumah, kita juga bisa keluar-masuk taman seharian selama barcode tersebut di tangan. Oiya, harga tiketnya sekitar 16€ untuk orang dewasa, ada harga spesial untuk yg datang bersama rombongan loh. 😉
Di depan pintu masuk, ada booth yang membagikan free maps, dan gak jauh dari booth tersebut ada hamparan bunga Tulip warna senada seperti yang ada di cover mapnya.
Saat kami datang kondisi taman sedang sangat ramai pengunjung, akibatnya antre toilet dan cafe pun jadi super lwamaaa. Buat antisipasi antre di cafe, sekaligus bisa menghemat, sebaiknya bawa bekal dari rumah dan makan sambil piknik di rumput-rumput taman. Memang boleh? Boleh, dan banyak kok yang begitu. 🙂
Gak cuma cafe, disana juga ada beberapa booth jajanan. Dari jajanan khasnya, waffle (tersedia versi Belanda dan Belgia), popcorn, permen kapas, dll. Saya dan suami pilih jajan troopswaffle alias wafelnya Belanda.
Ah, intinya menyenangkan sekali berkeliling taman yang MashaaAlllah sangat indah ini, bahkan untuk saya yang pada dasarnya tidak begitu tertarik pada bunga. Keasikan jepret sana-sini, sampai lupa kalau hari sudah semakin sore dan kami harus segera pulang. Eiiits, tapi sebelum pulang, jangan lupa beli souvenir. Bicara soal souvenir, di taman ini tersedia toko souvenir di beberapa titik. Karena sudah last minutes, kami belanja di toko souvenir sebelah pintu utama. Banyak banget pilihannya, tapi kami hanya beli beberapa magnet kulkas karena harga-harganya relatif mahal. Tiga buah magnet kulkas aja dibandrol 10€. Berarti satunya sekitar Rp 50.000 🙁 Alhamdulillah, perjalanan pulang lancar dan kami sampai rumah pukul 10 malam.
Sebelum melakukan perjalanan ini, saya sempat sangat kepikiran. Saya bukan tidak begitu suka jalan-jalan, terlebih yang literally jalan kaki, di taman pula. Tapi itu semua berubah total sepulang dari Keukénhof kemarin, saya jadi jatuh hati dan ketagihan pada traveling. Bukan, bukan karena destinasinya, melainkan karena saya sadar bahwa dengan traveling kita bisa membangun memori indah bersama orang tersayang. So now, I wonder, where will we travel next? ^^
Pada bagian ini, kita akan bahas mengenai foods experience kami selama di Bali. Karena kami memilih untuk lebih banyak tinggal di villa, maka selain makanan yang disajikan pihak villa, kami mencari jajanan di sekitar villa saja. Kebetulan villanya sendiri cukup strategis di kawasan Seminyak, tak jauh dari jalan raya yang penuh dengan beragam tempat makan. Lebih lengkap mengenai Villa tempat kami menginap ada di artikel sebelum ini, bagian pertama dari artikel lanjutan ini. Dan berikut adalah beberapa yang sempat kami cicipi;
Breakfast
Setiap malam, akan ada telpon dari front desk menanyakan menu apa yang kami inginkan untuk sarapan besok. Ada beberapa pilihan memang. Seingat saya, kami hanya mencoba dua menu; western menu yang berisi sosis goreng, kentang goreng dan sandwiches, dan menu kesukaan suami seperti yang terlihat di gambar. Kenapa suami saya suka menu ini? Sederhana sebenarnya, hanya karena “Omrice” yang tak hanya cantik, tapi juga lezat. Nasi goreng yang diselumiti telur dadar, sebuah ide yang menarik perhatian suami. Mereka juga menyediakan beberapa pilihan buah untuk jusnya, semangka jadi favorite kami. Seperti biasa, teh atau kopi, dan potongan buah pun ikut melengkapi sarapan kami.
Afternoon Snacks
Kalau kami sedang di villa, tak kemana-mana saat sore, pihak villa akan menawarkan afternoon snacks; teh atau kopi, dan cemilan seperti beberapa potong blackforest cake yang terlihat dari hasil jepretan suami di atas. Saya pilih es teh seperti biasa, dan teh panas untuk suami.
(Candle Light) Dinner
Makan malam di pesisir Pantai Jimbaran termasuk dalam paket bulanmadu kami, tapi kami tidak suka keramaian, apalagi di malam hari. Kami memilih untuk tinggal di villa saja, lebih baik berenang atau menonton film di kamar. Namun pihak villa berbaik hati menawarkan candle light dinner di Villa sebagai penggantinya. Tentu kami tak menolak. Seumur hidup saya pikir kalau makan malam ditemani nyala lilin adalah sesuatu yang romantis nan mewah, tak pernah terbayangkan bahwa saya akan mendapatkannya. Namun ternyata saya salah, bukan terang lilin dan kemewahan yang membuatnya romantis, melainkan teman makan yang menjadikannya kenangan manis tak terlupakan.
Makan malam tidak termasuk dalam paket yang kami ambil, maka kami memesan makanan dari resto villa. Waktu itu jasa antar makan (baca: gofud) belum setenar sekarang, lagipula saya merasa kurang sopan rasanya kalau harus pesan makan di luar untuk diantar ke kamar.
Inilah beberapa menu dinner kami pada suatu malam di Bali. Nasi hangat, salad sayur, salad buah, cah kangkung, ikan goreng , sambal dan sate lilit. Akhirnya nyobain sate lilit khas Bali, langsung di Bali. Menurut kami rasa dari keseluruhan makanan dari resto villa so-so, notbad. Alhamdulillah.
The Halal Boys
Jl. Petitenget no 18, Kerobokan Kelod, Kuta Utara, Badung Bali 80316
Kami memilih untuk berjalan kaki untuk sampai ke kedai The Halal Boys yang jaraknya tak jauh dari villa tempat kami menginap. Posisinya pun strategis di pinggir jalan, sehingga mudah untuk menemukannya. Kami juga dengan mudahnya mendapatkan taksi ketika pesanan sudah siap dibawa pulang tapi hujan tiba-tiba turun.
Banyak orang mengira bahwa The Halal Boys ini adalah salah satu cabang dari The Halal Guys di New York sana. Meski mereka sama-sama menyediakan hidangan cepat saji ala timur tengah dengan nasi bertabur potongan daging ayam atau domba, mereka tetaplah dua brands yang berbeda.
Menurut suami ini terbilang cukup murah untuk porsi yang lumayan. Kami ambil seporsi lamb dan seporsi half half (ayam dan domba). Mirip Döner Box sih, bedanya Döner Box pakai kentang goreng, kalau ini pakai nasi. Kami suka banget! Ludes dalam sekejap. Entah lapar atau emang doyan hehe.
Gardin Bistro & Patisserie Bali
Jalan Petitenget No.106, Seminyak, Kabupaten Badung, Bali 80361
Sore itu kami iseng berjalan kaki di sekitar villa, mencari santapan untuk mengganjal perut. Setelah browsing , ketemulah bistro cantik ini. Saat tiba di lokasi, kami sempat ragu, karena tempatnya terpencil di dalam gitu. Namun kami tetap mencoba mencari jalannya, dan ketemu. Gardin Bistro ini sebenarnya terletak cukup strategis di pinggir jalan besar, tapi untuk masuk ke dalam kita harus sedikit menelisik jalan kecil yang cantik. Begitu masuk, semacam menemukan harta karun, kami cukup terkejut karena asli cantik banget. Bayangkan, setiap sudutnya instagram-able.
Disclaimer: Gardin Bistro ini memang bukanlah restoran berlabel halal karena mereka pun masih menyediakan dan menggunakan wine dalam beberapa menu sajian mereka. Tapi jangan khawatir, pramusaji disini ramah semua dan mereka bersedia dengan senang hati menjelaskan menu mana saja yang sekiranya aman untuk muslim.
Kami memesan dua macam cocktail, salad dengan udang, burger untuk saya, dan nasi bakar bebek untuk suami. Burgernya menurut saya sih standard, nah pas saya cicip bebek dan sambal-sambalnya, saya jadi menyesal tidak memesan menu yang sama dengan suami. Kalau kata Pak Bondan, Maknyus!
Begitu mengesankan, malam berikutnya suami mengajak untuk coba dinner di Gardin Bistro. Menurutnya, sangat sulit menemukan cita rasa yang mewah dengan harga relatif murah seperti ini di negaranya, tentu jika dibanding dengan resto di Jerman. Maka kami pun menyudahi bulanmadu kami dengan candle light dinner ala-ala di Gardin Bistro ini.
Berbeda dengan suasana siang yang lebih cheerful, suasana malam disini memang terbilang lebih syahdu. Masing-masing dari kami memesan cocktail yang sama seperti yang sebelumnya kami minum. Saya pesan menu yang dipesan suami sebelumnya, nasi bakar bebek dengan aneka sambal yang mantap betul. Ada sambal matah khas Bali, sambal cabe ijo khas Padang, dan sambal tomat yang gak kalah lezat. Oiya, suami kali ini coba pesan rawon iga. Rempahnya hangat terasa, tapi untuk suami yang tidak suka pedas, ini masih bisa dinikmatinya. Ditambah saya inginmencoba Escargot Bourguingon. Suami tidak makan karena katanya tidak suka, setelah saya coba ternyata not bad buat saya. Meski masih enak tutut sih hehe.
Sour Sally Bali
Jalan Legian Kelod 350, Petiga Marga, Kuta 80361
Sour Sally adalah sebuah outlet yogurt beku revolusioner pertama di Indonesia. Mereka sudah punya cabang di berbagai kota di Indonesia, salah satunya ada di Jakarta. Saya belum pernah coba sebelumnya, jadi begitu sudah jauh sampai di Bali, meski siang itu sedang hujan, saya tetap usahakan kesini. Ternyata saya suka, bahkan frozen yoghurt jadi salah satu jajanan kesukaan saya di Dortmund. Nah di Sour Sally ini yang jadi iconic adalah frozen yoghurt versi hitam yang diklaim mengandung charcoal yang baik untuk antioxidant . Ada begitu banyak pilihan topping, mulai dari potongan buah sampai ke cokelat atau permen. Tempatnya juga nyaman, menarik, colorful, dan yang baru saya sadari; sangat strategis. Posisinya di pinggir jalan, cocok untuk dijadikan tempat rehat setelah berkeliling di sekitar Legian ini.
Gusto Gelato & Caffé
Jl. Mertanadi No.46B, Kerobokan Kelod, Kuta Utara, Kabupaten Badung, Bali 80361
Gelato! Cemilan yang cocok banget dengan cuaca Bali hari itu. Setelah haus, lelah, badan banjir keringat, semua terbayar dengan beberapa bola gelato ini. Tak hanya rasanya yang lezat dan menyegarkan, Gusto Gelato juga menyediakan beragam pilihan rasa yang tak biasa. Bahkan beberapa ada yang tak disangka dapat dibuat dessert semaknyus ini. Contohnya Kemangi, pernahkah anda membayangkan daun kemangi dijadikan rasa sebuah gelato? Menarik dicoba bukan? Tapi kami tak mau ambil resiko, jadi kami tak coba yang rasa Kemangi haha. Ketagihan, suami bahkan order lagi untuk take away.
Cafe Organic Bali
Jalan Petitenget No.99 X, Kerobokan Kelod, Kuta Utara, Kabupaten Badung, Bali 80361
Beberapa kali jalan-jalan sekitar penginapan, kami menemukan Cafe Organic dan kami tertarik. Namun sayang, kami selalu mendapatinya dalam keadaan akan atau bahkan sudah tutup. Akhirnya di suatu hari, setelah berjalan kaki dari Dream Museum Bali, lanjut ke Gusto Gelato, kami pun menyempatkan mampir ke Cafe Organic ini.
Mereka menawarkan menu makanan vegetarian yang tak hanya sehat, namun juga terjamin kesagarannya karena mereka menggunakan produk pertanian lokal. It’s always good to support local products, or? Meskipun hidangannya sederhana, terbilang sehat, mereka tidak meninggalkan cita rasa. Enak banget, serius. Suasana cafenya juga asik, pantas saja cafe ini ramai. Mayoritas customers yang datang adalah turis, yap bule sejauh mata memandang. Saya sudah sangat kelelahan, kurang berselera makan, jadi saya memilih untuk take away saja. And surprisingly, orderan saya masih fresh walau saya santap beberapa jam kemudian.
Yak, sekian cuplikan dari bulanmadu kami. Semoga Allah kasih rizki untuk kembali jalan-jajan di Bali lagi bersama anak-anak dan keluarga, terutama untuk menikmati kuliner Bali lainnya belum sempat kami cicipi. Nasi Pedas Ibu Andika dan menjajal kesegaran seafoods pinggir pantai misalnya. Sampai jumpa di perjalanan lainnya. 🙂
Setelah penantian (dan LDR Jerman-Indonesia) selama setengah tahun, akhirnya visa saya dikabulkan pada September 2016. Alhamdulillah, pak suami bisa langsung jemput saya di (penghujung) bulan yang sama. Kami pun memutuskan untuk liburan (baca: bulan madu) dulu di Indonesia sebelum saya diboyong pindah ke Jerman.
Karena sangat mendadak, diambil lah Bali, si destinasi mainstream untuk honeymoon. Tadinya mau ke Lombok, mendaki Gunung Rinjani. Tapi pak suami ragu, khawatir dengan kondisi fisik istrinya yang belum terlatih. Jadi yaa mungkin next time setelah saya rajin olah raga.
Kami dapat flight ke Bali tepat sehari di hari kedatangan pak suami di Cengkareng. Pak suami tiba pukul satu dini hari, dan penerbangan ke Bali terjadwal pada pukul 11 siangnya. Jadi, kami menginap di hotel dekat bandara dulu deh. Hotelnya nyaman, kamarnya luas dan bersih, pelayanannya ramah, sarapannya juga beragam dan enak.
1 Oktober 2016, atau bertepatan dengan 1 Muharram 1438H.
Kami diantar pihak hotel ke bandara setelah sarapan, sebelum dzuhur. Kami menggunakan pesawat GarudaIndonesia yg mana punya terminal khusus di Bandara Soekarno-Hatta, yakni Terminal 3 (yg waktu itu belum campur dengan AirAsia jalur penerbangan internasional). Terminal baru ini terlihat modern, bersih, sangat luas, pokoknya keren. Pak suami pun terpesona haha sampai berkabar ke keluarganya kalau ternyata Indonesia punya bandara kece. Bahkan beliau bilang, terminal ini mungkin one of the best terminals he has ever visited. Bangga dong saya jadinya. ^^
Sayang, begitu kami puji keapikan terminal baru, pesawat kami delay sekitar setengah jam. Sempat kaget sih, karena GarudaIndonesia terkenal sebagai top airlines, kok masih bisa telat? Tapi, pihak maskapai memberi kami cemilan sebagai bentuk kompensasi keterlambatannya. Yaa, kami pun sebenernya happy-happy aja karena excited liburan berdua, masih malu-malu, namanya juga pengantin baru. 😛
Akibat cuaca yang kurang mendukung, parkir pesawat di Bandara Ngurah Rai penuh, kami pun dibawa berputar-putar di udara. Sempat terlihat pulau Nusa Tenggara dari atas. Setelah kurang lebih sejam, pesawat kami pun mendarat di pulau dewata. Pihak villa tempat kami menginap sudah menunggu, siap mengantar kami ke villa. Kami lupa kalau jarak villa (di Seminyak) lumayan jauh dari bandara (di Denpasar), jadi kami sampai villa ketika hari sudah gelap.
Kami gak pake agen, jadi harus mengurus semua sendiri; tiket pesawat, tempat menginap, itinerary, etc. Saya masih ingat keriweuhan kami beberapa hari sibuk mencari tempat menginap yg sesuai keinginan tapi masih on budget. Kami mencari villa, memang bukan hotel, dengan fasilitas kolam renang pribadi yang benar-benar terjaga dari pandangan luar. Kami suka dan ingin berenang di liburan kali ini dan kami tidak mau berenang di kolam renang umum karena pasti campur laki-laki dan perempuan. Alhamdulillah, kami menemukan sesuai apa yang diharapkan.
Buah Bali Villa, Seminyak, Bali.
Sejak dijemput di bandara, sampai tiba di Villa, bahkan hingga nanti kami diantar pulang lagi, kami disambut hangat oleh para staff villa yang melayani dengan sangat ramah. Villanya luas, asri, bersih, pokoknya dijamin bikin betah deh hehe.
Berhubung kami pesan paket bulan madu, jadi villa kami penuh dengan taburan bunga dimana-mana. Saya sempat lihat di galerinya kalau paket honeymoon ini includes taburan bunga memenuhi kolam renang, tapi ternyata hanya lilin-lilin kecil (yang dinyalakan hanya ketika candle light dinner) yang mengelilingi kolam renang. Tetap jujur, suasananya (ro)man(t)is banget, saya suka. I’ve never thought something gorgeous like thiswould happen in my life. Gak pernah kepikiran sama sekali bakal ngerasain bulanmadu, tapi Allah kasih rizki seindah ini. Alhamdulillahiladzi bini’matihi tatimmussalihaat.
Begitu selesai bongkar koper dan heboh norak nemu villa yang cakep bener, kami berdua lapar, sedangkan restoran villa sudah tutup. Tapi alhamdulillah saya bawa mie instant dari Bogor, didukung dengan peralatan dapur villa yang lengkap. Jadilah tengah malam kami nyemil mie instant semangkok berdua sambil nonton.
Setelah subuh, kicau burung di udara Bali yang masih segar menambah syahdu pagi. Sarapan yang disediakan juga banyak, bervariasi (kita bisa pilih sebelumnya, dan menurut kami sih enak.
Kami stay di Bali sekitar sepekan, dan merencanakan hanya sehari untuk jalan-jalan jelajah beberapa destinasi wisata di Bali, sisanya kami memilih untuk menikmati villa (baca: main air). Rate villanya sudah lumayan merogoh kantong, sekitar 200€ atau 3,5jt rupiah per malam, jadi sayang kalau gak dinikmati sepuasnya hehe. Dan kebetulan, dalam paket bulanmadu ini sudah termasuk sewa mobil dengan supir seharian bebas kemana aja.
Sehari Explore Bali
Sebelumnya saya sudah menyiapkan itinerary sendiri, menyusun rute bagaimana bisa mengunjungi destinasi wisata sebanyak mungkin dalam waktu sehari. Setelah sarapan kami mulai perjalanan, pak supir sudah menunggu di tempat parkir. Beliau ramah dan sopan.
Masjid Agung Ibnu Batutah, Nusa Dua
Karena suami dan saya berazam, kami harus memasukkan agenda “keliling masjid” pada setiap perjalanan traveling kami, maka destinasi pertama yang kami kunjungi adalah sebuah masjid ternama yang bertetangga dengan rumah ibadah agama lainnya seperti Gereja dan Kuil. Masjid ini berada di Nusa Dua, sejam perjalanan dari villa. Masjidnya bersih dan tenang, sayup terdengar suara anak-anak mengaji juga. Selepas shalat tahiyat masjid, kami pun menyempatkan untuk ambil beberapa gambar dari rumah-rumah ibadah di sebelahnya. Biar berbeda, tetapi tetap rukun, sungguh mencerminkanBhinneka Tunggal Ika.
Pantai Pandawa
Pantai Pandawa adalah salah satu kawasan wisata di selatan Bali. Pantai ini terletak di balik perbukitan dan sering disebut sebagai Pantai Rahasia (Secret Beach). Di sekitar pantai ini terdapat dua tebing yang sangat besar yang pada salah satu sisinya dipahat patung-patung Pandawa Lima dan Dewi Kunti. Keenam patung tersebut secarara berurutan (dari posisi tertinggi) diberi penejasan nama Dewi Kunti, Dharma, Wangsa, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa.
Pantai Dreamland
Pantai Dreamland adalah sebuah tempat pariwisata yang terletak di daerah bernama Pecatu, tak jauh dari Pantai Pandawa. Lokasi pantai ini berada dalam kompleks Bali Pecatu Graha (Kuta Golf Link Resort). Maka dari itu, kita harus masuk ke dalam semacam perumahan untuk mencapai pantai ini.
Pak Supir pun bercerita, pelataran pantai indah ini semula hanya titik kecil dari hektaran area milik PT Bali Pecatu Graha (BPG) yang sempat heboh pada tahun 1996. Lahan seluas itu diborong untuk disulap menjadi resor superluks “Resor Pecatu Indah”.
Konon resor itu akan dipadukan dengan kawasan wisata, seraya memanfaatkan keindahan dan keaslian alam, sekaligus pelestarian lingkungan hidup. Pemilik resor tersebut, Tommy Soeharto, anak mantan Presiden Soeharto, hendak membuat “lingkungan permukiman dan wisata paling unik di seluruh Asia Tenggara”. Tapi seiring Indonesia tersapu krisis moneter dan krisis kredibilitas pimpinan, megaproyek ini mulai meredup. Sedangkan para penduduk desa Pecatu yang dulunya hidup sebagai petani sangat berharap proyek selesai dan mereka bisa menekuni bisnis lain di bidang pariwisata. Karena itulah lahan disekitar pantai disebut dengan Dreamland (tanah impian).
Tebing-tebing yang menjulang tinggi, dan batu karang yang lumayan besar di sekitar pantai menambah keelokan Pantai Dreamland ini.
Masjid Agung Palapa
Di perjalanan dari Pantai Dreamland, kami menemukan sebuah Masjid cukup besar masih di dalam area perumahannya. Tak ragu kami pun mampir sebentar demi misi #KelilingMasjid atau #NabilNabilaExploreMasjids kalau di kolom caption posting pertama suami di akun instagramnya.
Di sebelah masjid, ada bangunan lain seperti kantor atau tempat pertemuan. Yang menarik adalah dekorasi di depannya yang ‘instagram-able’.
Pantai Padang-Padang
Letak Pantai Padang-Padang masih searah dengan jalur ke Pantai Dreamland. Yang unik dari pantai ini adalah pintu masuknya. Kita akan melewati sebuah pura kecil dulu, kita bisa bertemu langsung dengan monyet-monyet yang berkeliaran bebas di pura ini. Setelah itu, dari pura tersebut terdapat anak tangga yang menurun, menuju ke area pantai. Tapi, anak tangga tersebut berada di sela-sela lorong tebing yang menyerupai gua. Lebarnyapun hanya cukup untuk satu orang, jadi harus satu per satu untuk melewati anak tangga tersebut.
Sebenarnya cukup zonksih, karena pagi mulai pergi ketika kami kesana, pantai pun sangat ramai dengan para turis mancanegara yang sedang berjemur (tentunya dengan pakaian serba terbuka), maupun surfing. Kebetulan juga air laut sedang pasang, ombak meninggi dan bahkan hingga menyapu pesisir pantai lumayan jauh. Jadilah sebagian besar turis memilih untuk gulung tikar dan angkat kaki.
Pantai Kuta
Saya pribadi sudah pernah mengunjungi Pantai Kuta sebelumnya, bahkan waktu itu menginap di hotel dekat sini. Saya menyampatkan mampir lagi karena rindu suasana sekitar pantai yang khas ‘Bali banget’, terutama toko-toko kelontongnya. Tapi sayang, mungkin karena sudah banyak dikenal, sedangkan pengelolaannya tidak menyeimbangi, kami pun menemukan beberapa kesan kurang menyenangkan dari pantai ini.
Beachwalk Mall
Sedikit berjalan kaki dari Pantai Kuta, kita bisa sampai ke Beachwalk Mall. Layaknya Mall besar di ibukota, beberapa toko-toko high end brands pun berjejeran disini. Bukan itu yang menarik, melainkan beberapa spots yang (lagi-lagi) instagram-able.
Begitu sore, setelah mampir sebentar ke toko oleh-oleh, kami pun memutuskan pulang. Walaupun jatah sewa mobil yang 12jam sebenarnya masih tersisa 1-2jam lagi. Ya, dua masjid dan empat pantai dalam kurang dari sehari, termasuk jajan di Mall dan Sour Sally juga. Bagaimana? 🙂 Alhamdulillah, meski amat singkat dan cukup melelahkan jelajah Bali kali ini, tapi kami cukup puas. Tipsnya adalah menyiapkan itinerary yang searah, pergi di pagi hari sehingga destinasi wisata yang dituju belum begitu ramai pengunjung dan tidak berlama-lama di suatu tempat. Semoga membantu.
Oiya, di hari lain kami sempat mengunjungi sebuah tempat wisata Dream Museum Zone Bali (DMZ). Kami meminta antar dari pihak villa, didrop aja, dan berjalan kaki pulangnya. Saya yang berinisiatif untuk jalan kaki, melihat jaraknya ‘hanya’ sekian menit berjalan kaki ke villa, suami setuju mengingat saya harus berlatih jalan kaki juga.
Dream Museum Zone Bali (DMZ)
Jl. Nakula No.33X, Legian, Kuta, Kabupaten Badung, Bali 80361
Biaya tiket masuknya Rp 100.000, dan sejujurnya menurut saya itu harga yang lumayan mahal. Saya sempat baca ternyata kalau beli tiket di agen travel justru bisa dapat harga lebih murah, bahkan hampir separuh harga saja.
Lagi-lagi, as honest review, saya kurang menikmati disini. Beberapa (artinya tidak semua) kakak-kakak penjaga yang bisa dimintai tolong untuk ambil gambar, mereka kurang ramah, bahkan cenderung judes. Seandainya bukan karena suami yang ceria dan tetap happy dan excited untuk foto-foto dengan ekspresinya yang seolah mendalami betul, sepertinya saya akan menyesal memasukkan museum ini dalam itinerary bulanmadu kami. Tapi ini kan sudah dua tahun lalu, semoga pelayanannya saat ini sudah lebih baik ya.
Setelah selasai berfoto di museum, kami pun melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sekitar setengah jam ke Gusto Gelato. Menerobos teriknya jalanan Bali saat itu. Tapi anehnya, justru saya sangat menikmati, Dari ngobrol, bercanda, sampai murajaah bareng sambil jalan. Bahkan, ini adalah momen paling berkesan di Bali, mengalahkan semua destinasi wisata yang kami kunjungi. MashaaAllaah.
Masih ada lanjutan post ini di bagian berikutnya yaitu tentang foods experience di Bali. Yuk, mari mampir! ^^